KOMISI Somatua Intan Jaya

Komunitas Independent Somatua Intan Jaya adalah sebuah wadah yang lahir dari kegelisahan hati dan pergumulan mahasiswa dan pelajar Intan Jaya yang ada di kota study Jayapura untuk memproteksi manusia dan alam yang ada di kabupaten ntan jaya dan secara umum di Papua.

Menangis Bersama Alam Puyagia Intan Jaya

Posted by KOMISI SOMATUA on Sabtu, 29 September 2012

Yeskiel Belau, Foto : Dok Pribadi

Masyarakat dan pemerintah kabupaten intan jaya berbangga atas sumber daya alam yang menjanjikan. Tetapi kehidupan sumber daya alam di desa Puyagia sedang berarak menjauhi firdaus, diiringi tangisan yang mengharuhkan. Barangkali merupakan pernyataan yang mampu mewakili gawatnya krisis alam di bumi Puyagia – intan jaya  saat  ini.



P
otret pesona Cartenz dan perkembangan Kabupaten Intan Jaya yang dipublikasikan dalam kalender  milik Pemerintah Intan Jaya edisi Tahun ini cukup membanggakan siapa saja. Terutama putra-putri yang berdomisili di kabupaten Intan Jaya. Apa bukan?
        “Kabupaten Intan Jaya menyimpan berbagai potensi sumber daya alam yang menjanjikan, diantaranya  pesona puncak Cartenz dengan salju abadinya, sumber mata air garam, potensi tambang emas dan tembaga serta potensi pertanian diantaranya tanaman padi dataran tinggi yang sementara dikembangkan.” Demikian kutipan dari Kalender Pemerintah Kabupaten Intan Jaya.
        
Pembangunan Kabupaten Intan Jaya yang sudah dan sedang berlangsung dipandang sebagai rangkaian dari kegiatan dinamis dalam upaya melakukan perubahan, keadilan, kemakmuran, meningkatkan taraf hidup masyarakat dan mewujudkan kualitas manusia yang handal. Teristimewa dalam mengelola SDA-nya sendiri, dengan jalan memelihara lingkungan hidup yang aman sebagai tempat hidup manusia, hewan maupun alam. Kami juga merasa bangga atas kutipan tersebut. Karena di sana terlihat dengan jelas terobosan-terobosan pembangunan yang dimaksud. Sehingga terbukti; Bapak Bupati Intan Jaya, Bapak Maximus Zongonau S.Sos mendapatkan penghargaan terbaik urutan ketiga se-Indonesia. Hal ini ditegaskan dan diakui oleh Pastor Paroki Kristus Raja (KR) Nabire, Pastor Natalis Gobai Pr. saat memberikan kuliah Spiritualitas Imam Diosesan di komunitas Tahun Orientasi Rohani Wanggar Nabire. Beliau menambahkan “Bapak Bupati Intan Jaya mendapat penghargaan itu pertama-tama karena membangun Daerah Intan Jaya dengan mendasarkan nilai  kejujuran, keadilan, kebijaksanaan dan terbukti tercepat”. Dalam hal ini kita boleh menepuk dada bahwa Pemerintah Daerah tidak hanya bersantai. Atau orang sering mengatakan; Datang, Duduk, Dengar dan Diam (D4) saja, tetapi justru benar-benar berbuat banyak hal yang hasilnya dapat kita nikmati bersama.

Meskipun begitu menarik sorotan positif dari dunia luar, di sini kami ingin mengajak kita semua untuk melihat alam semesta sebagai kebutuhan hidup manusia yang disediakan oleh Sang Pencipta. Khususnya alam yang ada di Desa Puyagia – Kabupaten Intan Jaya. Alam yang kami tinggalkan dalam keadaan manis, perawan dan yang selalu memberikan kehidupan kepada masyarakat di Desa itu. 

Kini keutuhan alam itu sedang berarak menjauhi firdausnya. Ya, belakangan ini kebutuhan manusia meningkat terutama kebutuhan Pembangunan Kabupaten Intan Jaya. Sehingga berdampak terjadinya eksploitasi Sumber Daya Alam besar-besaran. Yakni; PENEBANGAN POHON tak teratur. Karena itu, tenggok jugalah ke arah judul artikel ini “Menangis bersama Alam PUYAGIA – INTAN JAYA”. Mengapa? Sebab memang kenyataanya demikian. Kami melihat alam kami menangis. 

Lalu siapakah gerangan ini sehingga berdiri tegak? Bukankah keberadaan kami amat dimungkinkan juga oleh alam itu? Mengiyakan pertanyaan ini mustahil bagi kami. Hanya dapat berkata dalam hati “aku menangis bersamanya.” Ingatlah di sini kami tidak mencari siapa dan apa penyebabnya. Sebab berdasarkan pengalaman dan informasi-informasi aktual yang kami terima, tangisan alam itu disebabkan oleh manusia sendiri. Buktinya jelas! Karena itu; Menurut seorang yang berasal dari desa itu mengatakan “hendaknya mereka yang melakukan, sekongkol dan mendiamkan proses eksploiasi itu terus berlangsung adalah manusia yang tidak bertanggung jawab, berwatak hedonis/materialistis, mental instan dan tidak punya penghargaan terhadap alam. Sehingga terkesan segala cara dihalalkan untuk menyerahkan dan menerima apa yang menjadi kebutuhannya (uang dan pohon)

Mereka memanfaatkan masyarakat setempat yang tidak berdaya bahkan tanpa memperhitungkan nasib hidup masa depan generasi muda setempat dan kemungkinan-kemungkinan bahaya bencana alam. Bolelah saya umpamakan dengan ungkapan ini “melihat tetapi seakan-akan tidak melihat, mendengar tetapi seakan-akan tidak mendengar dan menghibur tetapi tidak juga merasa puas.” Artinya mereka melihat alam tetapi melihatnya sebagai obyek, mendengar tangisan alam tetapi malah menginjak-injak sambil menutup telinganya dengan beberapa lembar uang rupiah, alam menjadi sumber hidup namun tidak pernah percaya. Mengapa? Barangkali karena manusia tidak tahu/mengerti tentang alam itu sendiri? Karena itu bertolak dari keprihatinan, kami telah berusaha merumuskan pemahaman di seputar pengertian tentang alam. Jadi, alam adalah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Di bumi ada hutan dan segala kandungannya seperti; Pohon-pohon,  tali-talian, air bersih, udara, tumbuh-tumbuhan, sumber energi, hewan, gunung, tanah, batu, pasir dan sebagainya termasuk segala macam potensi SDA yang kita banggakan. Tetapi anehnya kami melihat alam ini menangis!

Melihat Alam Menangis.
        
Suatu hari, saya sebagai anggota panitia Sie dekorasi penyelenggara Hari Ulang Tahun (HUT) Intan Jaya (ke-1), pernah mengujungi Hutan di Desa Puyagia (Debatugapa), dengan tujuan mengambil bahan dekorasi seperti lumut segar (pago), bunga angkrek, tali-talian dan pepohonan yang menarik estetis. Di sana saya memandang ke semua arah dan ternyata alam fantasiku (mikrokosmos) melihat, mendengar dan merasakan tangisan alam lingkunganku (makrokosmos). Duduklah saya seraya merenung sejenak, terasalah angin sepoih membelai rambutku yang belum disisir, terdengar pula desah bagaikan anak piatu yang tersesat. Mengapa engkau mengeluh angin sepoih? Tanyaku. Ia menjawab; karena benih-benih penyakit dan barang-barang asing mencemari pakaianku yang suci! Dapatkah engkau menolongku?

Kemudian saya melihat kerak air mata pada wajah-wajah bunga indah, saya mendengar rintihannya yang lirih. Mengapa kamu menangis bunga-bunga yang manis? Sebuah kembang manis menengadah ke arahku sambil berbisik “kami menangis karena manusia akan datang dan memotong kami, menginjak-injak kami dan membiarkan kami kering lalu dibakar.” Kembang lain menambahkan “kami takut!”

Saya mendengar dari jarak itu, rintihan kali kesayanganku “nguabu”. Rintihannya seperti ibu janda yang meratapi kematian anaknya. Tanyaku dengan amat lembut “mengapa engkau menangis airku yang jernih?” Jawabnya dengan suara terputus putus “lihatlah, aku dipenjarakan, dikurung di tanahku sendiri, bagaikan koruptor terbesar di dunia. Aku dipaksa menuju ke tempat manusia lain memandang diriku dan kerabatku rendah dan tak berdaya. Aku akan menjadi pembersih sampah, kemurnianku akan dicemari dan mengubah kejernihanku.

Terdengar tangisan duka burung-burung yang saya tinggalkan delapan Tahun silam. Saat ditanyai, salah satu dari antara mereka terbang mendekat, hinggap pada dahan kayu besi yang kering, katanya “anak-anak adam bersenjata akan segera datang hendak menyatakan perang, seakan-akan kami musuhnya yang harus dibunuh, dibasmi/dimusnakan. Kami akan saling berpisah, karena kami tahu tak satu pun diantara kami yang dapat menghindari murka manusia, ke mana pun kami pergi hingga ajal.” 

Lebih sakit lagi, saya mendengar suara tangisan pohon-pohonku yang pernah tumbuh dan menghiasi hutan Desa Puyagia. Mulai dari 5  KM dari Air Port Intan Jaya sampai di Jomu, Kiumu dan Ugamiigi. Mengapakah pohon-pohonku menangis begitu takaruan, ramai dan terus-menerus? Oh….Tuhan, ternyata mereka menjerit karena dibabat habis. Sebatang kayu bekas sengsor memberi jawaban faktual “kami menangis karena kami sudah tak berguna, hanya memiliki energi panas bila dibakar dan menjadi pupuk untuk tanah ini bila terurai. Serbuk-serbuknya yang berada tidak jauh dari situ menambahkan “kami juga tidak bisa berfotosintesis untuk menghasilkan oksigen, air dan hidup untuk kerabat kami. Kami tidak bisa menahan panas, hujan, longsor, kekeringan, gersang serta menjadi kebanggaan kerabat kami. Kami dijadikan alat komoditi diperjualbelikan oleh manusia. Betapa kejamnya mereka. Mereka membantai kami habis-habisan hingga mengeluarkan isi perut kami, sakit….sakit….!” Sementara itu, sebuah pohon muda yang baru tumbuh berdiri kakap-kakap sambil mengusap air matanya berkata “Lihatlah aku….tak ada yang hidup untukmu lebih dewasa dariku, aku bersama yang lain. Dapatkah anda menaungi kami? Mepao….tidurkah?  Sahut seorang sahabat. Terbangunlah saya, seribu satu macam ilusi kekecewaan dan duka terlintas di benakku. Meski begitu, saya patut syukuri momen itu. Karena melaluinya saya dapat menyelami dan merasakan tangisan alamku. “Terbukalah mata dan hati…..!”

 Kami tidak memiliki pengalaman faktual lebih dari ini, tetapi bukankah pengalaman sederhana ini menggugah hati? Kami yakin siapa pun anda yang menyelaminya,  sebagai manusia yang berakal budi pasti merasakannya. Supaya lebih mampan, sewaktu-waktu kita dapat menyaksikan sendiri hutan-hutan perawan, angker dan hutan yang hampir tidak pernah disentu oleh manusia di Desa Puyagia yang kini habis dibabat itu. Di sana akan terlihat dengan jelas, hamparan irisan pohon-pohon yang tak bertubuh. Mulai dari ujung lapangan terbang Intan Jaya hingga di Hutan Jomu – Kiumu dan Ugamiigi. Bayangkan, semenjak itu saja kami melihat bukit dan gunung-gunung botak bahkan ompong. Apalagi saat-saat sekarang? Lebih ngeri lagi, informasi terbaru disampaikan oleh Bapak Guru Isak Belau. Beliau  mengumpamakan hutan Desa itu bagaikan “Nona Tidur Telanjang Alias Gundul.” Hal ini sungguh kenyataan,” katanya lagi. Jadi, kita tidak perlu menyangkal wahwa keutuhan sumber daya alam Puyagia masih utuh. Tetapi hal yang perlu dilakukan adalah mengakui dan menerima kenyataan krisis alam beserta segala konsekuensinya. Krisis pohon, rotan, buah pandan, udara segar, air bersih, hewan dan sebagainya. Alam merasa kehilangan kemurnian dan keutuhannya, maka Ia menangis.  

Berdasar pada kenyataan di atas, kami sungguh-sungguh mengakui dan membenarkan  buah pemikiran yang dituangkan oleh Pastor Josef Glinka SVD, dalam bukunya yang berjudul “Perkembangan Alam Hidup”. Sfesifiknya tentang pengaruh alam hidup. Menurutnya “Alam hidup tidak dapat dipandang sebagai kumpulan jenis-jenis, yang kebetulan hidup di satu tempat/daerah tanpa hubungan yang erat satu sama lain, melainkan sebagai suatu struktur sosial yang sangat bergantung satu sama lain, sehingga perubahan dan krisis di satu unsur struktur ini dapat mengakibatkan perubahan dan krisis seluruh biotop di seluruh daerah.” Kami merasa simpati sebab dari buah pemikiran ini, kita dapat menarik konkluksi yang memadai berdasarkan realitas di ruang lingkup yang kecil dan sampai pada ruang lingkup universal se-Kabupaten. Proses konkluksi; Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Intan Jaya memiliki hubungan satu kesatuan struktus sosial yang tidak dapat dipisahkan. Potensi sumber daya Alam angin sepoih, bunga-bunga, burung-burung, sungai, pohon dll) di Desa Puyagia – Kabupaten Intan Jaya menangis. Maka Semua Potensi Sumber Daya Alam Kabupaten Intan Jaya menangis.

Pesona gunung Cartenz dengan salju abadinya yang adalah obyek wisata terbesar Kabupaten Intan Jaya, potensi emas, tambang dan tembaga, sumber mata air garam dan lain sebagainya yang kita banggahkan ini tidak luput dari perasaan duka menangis. Seakan mengundang keprihatinan dalam diri kami. Maka kami mohon sadarilah perilaku serupa yang terus-menerus terhadap alam secara keseluruhan dan khususnya Hutan di Desa Puyagia. Sebab jika kita tidak mengindahkan hal ini, maka pasti akan terjadi berbagai macam perubahan iklim dan membawa akibat fatal bagi kenyamanan hidup alam dan manusia setempat. Sebagai mana yang terjadi di bebagai belahan dunia luas. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa lantas terjadi bencana alam. Longsor, kekeringan dan banjir menimpa Desa Puyagia, sebab letak daerah hunian masyarakat di kawasan lereng yang dibelakangi oleh hutan, sementara hutannya ditebang habis. Maka saat hujan, dipastikan terjadi bencana alam, masyarakat mesti waspada. Efeknya juga mengundang kekawatiran yang agak global bahwa salju abadi kita di puncak Cartenz akan mencair dan lenyap. Bersediakah menanggung resiko?

Supaya kita terhindar dari bahaya kerugian potensi alam yang menjanjikan, ancaman terhadap kenyamanan hidup manusia dan segala jenis biota hutan, kami hendak menawarkan sebuah metode yang sebenarnya tidak asing di telinga kita, yakni “Membangun Manusia.” 

Membangun Manusia 

Kata membangun dan manusia memiliki arti yang berbeda. Kata membangun searti dengan membentuk, membina, memperbaiki dan mendirikan. Sedangkan kata manusia sama artinya dengan kata insap (orang), makluk yang berakal budi. Jadi, membangun manusia yang dimaksud adalah usaha membentuk dan membina kesadaran akan akal budi alaminya. Usaha membentuk dan membina mengandaikan keberadaan dua individu, yang bersedia membina atau membentuk dan yang mau dibina atau dibentuk. Keduanya tidak berarti tanpa yang lain. Maka keduanya mesti bersedia memberi makna.

Alasan fundamental; Alam ada karena atau untuk manusia, Daerah ada ditengah-tengah alam, maka Daerah ada karena atau untuk manusia. Manusia menjadi dasar untuk berorientasi pada keduanya. Tingkat jaminan hidup alam, manusia, kemajuan pembangunan Daerah amat tergantung pada kualitas manusia. Maka rencana strategis membangun manusia sangat dibutuhkan. Pertimbangannya bahwa bertolak dari padanya, setiap insap pasti memiliki kemampuan melakukan terobosan-terobosan, sesuai dengan bidang dan minatnya. Terutama memiliki perasaan cinta terhadap SDA dan itu diwujudkan melalui aksi nyata perlindungan lingkungan hidup secara universal. Seperti reboisasi, mengembangkan obyek-obyek wisata sekaligus sebagai lapangan kerja serta usaha-usaha sederhana (kreatifitas). 

Sesungguhnya ide membangun manusia, khususnya manusia Intan Jaya juga sudah diulas dengan baik oleh Bapak Elias Japugau dalam makalanya yang berjudul “Analisis Dan Dinamika Suku Moni”  “Kami yakin kemajuan daerah Dugindoga-Kemandoga (sekarang Intan Jaya) amat ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang cukup. Karena dengan demikian otomatis tingkat ketrampilan masyarakat juga akan meningkat serta berada pada tataran standar. Sehingga tingkat produktifitasnya pun berkembang luas.”



Membangun masyarakat itu kata-kata yang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit wujudkan dan lantas melihat hasilnya dalam jangka waktu singkat. Oleh karena itu, pada momen ini kami hendak memaparkan hal-hal yang perlu diperhatikan. Petama, kenali siapa yang mau ditangani. Misalnya masyarakat desa Puyagia. Masyarakat Puyagia adalah kumpulan individu-individu yang mendiami daerah tersebut berdasarkan persamaan latar belakang budaya yang sama. Seperti bahasa, pakayan adat, letak daerah dll. Kedua, kenali juga bahwa individu-individu itu memiliki kemampuan asali untuk mengamati dan menganalisa yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan makluk lain! Di mana tandanya bahwa mereka memiliki harkat dan martabat untuk mampu mengembangkan kepribadian yang unik. Ketiga, ketahuilah bahwa keunikan kepribadian itu menjadikan manusia sebagai “sumber” yang amat signifikan.

Maka tugas kaun intelektual adalah membantu mereka  mengembangkan sumber ini (keunikan manusia). Sebab jika sumber ini ditangani dengan tepat maka akan menjadi sebuah modal yang sangat bernilai tinggi dalam mencapai tujuan bersama (perlindungan alam dan pembangunan Daerah). Berhasil sampai pada jenjang ini maka dapat dikatakan SDM memadai. Tetapi sebaliknya jika tidak ditangani dengan baik maka akan berkembang menjadi masalah yang rumit bahkan berbahaya. Dengan harapan kedepannya pengelolahan sumber alam khususnya di Desa Puyagia bertitik tolak dari pandangan tersebut dan bahwa dalam diri setiap manusia terdapat sisi positif dan negatif, sifat positif perlu dikenali untuk diarahkan dan dikembangkan agar dapat menjadi aktor pendorong yang sangat strategis dalam pencapaian perlindungan alam yang adalah tujuan bersama. Sebaliknya yang negatif perlu diolah agar tidak menjadi sumber kegagalan dalam perlindungan alam sebagaimana halnya.

Dalam harapan positif, buah pemikiran tersebut ditujukan kepada pihak Pemerintah Kabupaten Intan Jaya, Agama, dan pihak Dewan Adat Kabupaten Intan Jaya dalam menuntaskan pembangunan manusia yang bermuara pada kepemilikan rasa cinta terhadap alam. Sehingga perlindungan terhadapnya terjamin. Juga tentunya cita-cita bersama; melihat bersama, berpikir bersama dan bekerja bersama dalam meraih kemajuan, kesejahteraan, kedamaian dan keadilan hidup yang berada tercapai.
             
Untuk meningkatkan peningkatan potensinya dalam mengelola sumberdaya alam diperlukan strategis perencanaan sumberdaya manusia yang mencakup;
1.      Sasaran perencanaan jelas dan tidak menimbulkan salah tafsir
2.      Tahapan yang jelas dan rinci untuk mempermudah pencapaian target yang telah dirumuskan dan direncanakan.
3.      Perencanaan organisasi yang merupakan modal vital dan faktor penentu dalam pencapaian keberhasilan mengelola SDA.
4.      Penyusunan perencanaan SDM sebagai langka penilaian audit proses yang bersifat intensif, investigative, analitik, dan konprehensif. Audit ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi Sdm yang ada untuk mengelola SDA sesuai dengan kebutuhan secara kuantitatif.
5.      Perkiraan tenaga kerja untuk mengantisipasi salah tafsir yang dapat berakibat fatal.
6.      Pelaksanaan program yang meliputi rencana penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, induksi, dan pengembangan yang terdiri dari pemberian balas jasa. 

Pendekatan strategis ini diperlukan agar pengelolah sumberdaya alam dengan berwawasan lingkungan. Dengan menggunakan landasan pemikiran yang berwawasan lingkungan dan senantiasa mengingat bahwa alam adalah warisan generasi berikutnya, maka manusia diharapkan mengelola sumberdaya alam dengan bijaksana dan memperoleh hasil yang sungguh-sungguh dibutuhkan. (Artikel ini pernah dipublikasikan di Harian Papua pos Nabire)
 
Oleh : Yeskiel Belau 
Penulis adalah Mahasiswa STFT “FT” Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur, Jayapura – Papua. (Belau Jesse. Pecinta Alam).

Blog, Updated at: 03.42

3 komentar:

  1. sangat tekejut dengan tulisn mepaooo, tetapi ada satu hal yang perlu kita ketahuiii, MC dengan Alam sangat berkaitan manusia membutukan sumber daya alam yang ada didalamnyaaa dan melestarikanuyaaaa sesuai kebutuhan. Dan jugaaa Alampuun Membutukan mC untuk melestarikannyaa dengan dengan berbagai cara ( tidak perlu dijelaskan).

    ada satu hal lagi yang perlu di ketahuiii mepaoo kami tidak bisaa mengtakan ssipaa yang merusak, memperkosa dll sebab MC setempat saja tidak menyadari apa yang dilakukannya, contohnya septi menjual pohon-pohon yang ada,m amakaneee mepaooo salam. lupaaa ada satu hla yang secara pribadi saya salut kepada seluru kawan2 Komisi dengan sosialisainya walaupun saya tidak sempat mengikuti kegiatannya. sekian

    <=== AMAKANEE FOR U ===>

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Mepa Fendri atas komentarnya, saya senang!

      Ya, Mepa sudah mengungkapkan tiga hal penting: 1) Hubungan antara alam dan manusia. 2)Tuduhan merusak dan memperkosa alam. 3) Ketidaksadaran warga setempat. Apa bukan?
      Oke, saya harus menanggapinya secara terstruktur: Hal pertama yang mepa maksudkan itu tidak salah, hanya saja mepa perlu ketahui bahwa alam akan tetap hidup, meskipun tanpa manusia. Kalau manusia tanpa alam pasti manusia akan menjadi mantan manusia. Artinya manusia amat tergantung pada alam dibanding sebaliknya. Tetapi itu selaras dengan hukum alam dan berharganya manusia dari yang lain. Yang membut manusia berharga dari ciptaan yang lain adalah akal budi. Maka manusia sebagai makluk yang berakal budi wajib lestarikan alam sesuai dengan kuasa yang diberikan Sang Pencipta. Di sini amat menuntut tanggung jawab moral kita.
      Ya tahu dirilah bahwa tanpa alam kehidupan manusia tak berati apa-apa itu.
      Kedua, Coba memandang realitas itu dari perspektif alam. Seandanya anda adalah alam dan realitas itu terjadi pada dirimu, apa yang akan engkau rasakan? Ya meskipun saya skeptis merumuskannya,tetapi saya harus katakan demikian. Saya pikir ini adalah salah satu metode yang akan membantu kita dalam menjaga relasi yang harmonis dengan alam dan siapa saja tanpa menyerangnya, sekalipun musuh.
      Ketiga, itu adalah masalah kita bersama. Untuk apa kita duduk di bangku edukasi? Apakah ketika mepa melihat realitas semacam itu mengagumi saja? Menertawainya? Ide macam ini analogi dengan memasang perangkap untuk kita sendiri. Benar kawan saya amat merasa malu, ketika mendengar itu. Kita bersama Pemda harus malu. Karena infestasi seperti itulah yang kita tanamkan dalam diri masyarakat.
      Solusi untuk itu ada di tangan kawan, saya, kawan-kawan yang lain dan Pemda Intan Jaya. Terakhir: saya mohon kesediaan mepa untuk sekali lagi meluangkan waktu untuk membaca opini itu lagi.
      Mepao mohon maaf jika tanggapan ini kurang berkenan di hati. Terimasih atas perhatian dan semoga sukses selalu. GBU!

      Hapus
  2. Terimakasih Mepa Fendri, luar biasa ternyata mepa bersediah mengemukakan hal yang menggangu pemahamanmu, itu baik, saya senang.

    Ya, Mepa sudah mengungkapkan tiga hal penting: 1) Hubungan antara alam dan manusia. 2)Tuduhan merusak dan memperkosa alam. 3) Ketidaksadaran warga setempat. Apa bukan?

    Oke, saya harus menanggapinya secara terstruktur: Hal pertama yang mepa maksudkan itu tidak salah, hanya saja mepa perlu ketahui bahwa alam akan tetap hidup, meskipun tanpa manusia. Kalau manusia tanpa alam pasti manusia akan menjadi mantan manusia. Artinya manusia amat tergantung pada alam dibanding sebaliknya. Dan, itu sikap manusiawi yang berakal budi. Maka manusia sebagai makluk yang berakal budi wajib lestarikan alam sesuai dengan kuasa yang diberikan Sang Pencipta. Di sini amat menntut tanggung jawab moral kita. Ya tahu dirilah bahwa tanpa alam kehidupan manusia tak berati apa-apa itu.

    Kedua, Coba memandang realitas itu dari perspektif alam. Seandanya anda adalah alam dan realitas itu terjadi pada dirimu, apa yang akan engkau rasakan? Ya meskipun saya skeptis merumuskannya,tetapi saya harus katakan demikian. Saya pikir ini adalah salah satu metode yang akan membantu kita dalam menjaga relasi yang harmonis dengan alam dan siapa saja tanpa menyerangnya, sekalipun musuh.

    Ketiga, itu adalah masalah kita bersama. Untuk apa kita duduk di bangku edukasi? Apakah ketika mepa melihat realitas semacam itu mengagumi saja? Menertawainya? Ide macam ini analogi dengan memasang merangkap untuk kita sendiri. Benar kawan saya amat merasa malu, ketika mendengar itu. Kita bersama Pemda harus malu. Karena infestasi seperti itulah yang kita tanamkan dalam diri masyarakat.

    Solusi untuk itu ada di tangan kawan, saya, kawan-kawan yang lain dan Pemda Intan Jaya. Terakhir: saya mohon kesediaan mepa untuk sekali lagi meluangkan waktu untuk membaca opini itu lagi.

    Mepao mohon maaf jika tanggapan ini kurang berkenan di hati. Terimasih atas perhatian dan semoga sukses selalu. GBU!

    BalasHapus

BERITA TERBARU

Komisi Somatua Intan Jaya. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts