Sebuah Klarifikasi Tentang “Moni” dan “Migani”
Oleh : Frater Yeheskiel Belau
Klarifikasi berarti menjernihkan, menjelaskan dan
mengembalikan sesuatu kepada yang sebenarnya. Dalam konteks ini, kami
mengklarifikasikan sebutan kata Moni dan Migani. Klarifikasi Moni dan Migani
ini direalisasikan dalam rangka menjelaskan, meluruskan dan menjernihkannya
secara lenggkap dan menyeluruh, dipandang dari definisi hurufiah menurut bahasa
daerah setempat, latar belakang budaya dan sejarah munculnya sebutan tersebut
secara gambalang, sehingga identitas jati diri manusia Intan Jaya yang sejati
nampak dengan sendirinya, sesuai dengan kualitas nilai dan derajat budaya
tertinggi yang terkandung dalam kedua kata itu (Moni dan Migani).
Fakta: Identitas jati diri manusia Intan Jaya yang
dikenal di khalayak umum, bahkan di kalangan manusia Intan Jaya sendiri hingga
kini adalah “MONI”. Hal ini dapat dibuktikan melalui buku-buku antropologi,
daftar peta suku bangsa, surat-surat kabar bahkan dari skripsi dan makalah para
sarjana asal Intan Jaya sendiri, tentang budayanya serta organisasi-organisi
yang dibentuknya. Selain itu dalam praktek pergaulan hidup juga manusia Intan
Jaya selalu menyatakan diri sebagai suku bangsa Moni. Berkaitan dengan hal ini,
kami telah menyelidikinya secara cermat, ternyata kami menemukan cukup banyak
data (termasuk kesaksian hidup) tentang identitas jati diri manusia Intan Jaya
serupa.
Data-data tersebut menyebutkan identitas jati diri manusia Intan Jaya
adalah MONI. Pertanyaannya; Benarkah? Pertanyaan ini menuntut kami menaruh
keprihatinan besar untuk berusaha klarifikasikan gradasi kata MONI dan MIGANI.
Barangkali melalui proses klarifikasi ini terwujudlah harapan kami, yakni
memberikan kontribusi yang positif dalam mengangkat ketepatan identitas jati
diri manusia Intan Jaya yang benar dan sejati.
Definisi Dan
Makna sejarah Kata Migani
Definisi: Kata Migani berasal dari dua kata, yakni
Miga dan Ni. Miga artinya asli, sungguhan dan sejati. Sedangkan kata Ni
mengandung kata sifat, yang berarti manusia. Jadi, Migani berarti Manusia
sungguhan, manusia asli atau manusia sejati. Arti manusia yang mengandung kata
benda adalah Mene . Secara lengkap diucapkan Migamene. Artinya, manusia asli,
manusia sungguhan atau manusia sejati.
Sejarah
singkat
Puluhan ribu tahun yang lalu manusia Intan Jaya
masih hidup terisolir dari dunia luar. Dalam hidup yang demikian, manusia Intan
Jaya sungguh-sungguh hidup sebagai manusia yang berbudaya dan beridentitas jati
diri Migani. Mereka menyebut diri sebagai Migani dan menyebut budayanya Migani
tugu , menyebut segala sesuatu yang dihasilkan dan diciptakan dengan
pengetahuan alaminya disebut Miga noa . Contoh; Miga ombo (noken asli), Miga
bui (busur asli), Miga mala (anak panah asli), Miga o (manik-manik asli), Miga
ngosaga (koteka asli) Miga sabo (cawat asli) dan sebagainya. Juga bahasa daerah
asli adalah “Miga dole ”.
Penggunaan kata Miga pertama-tama bertujuan untuk
membedakan manusia sungguhan dan segala macam benda yang dihasilkannya dari
sosok dan benda-benda yang berasal dari tuan tanah atau makluk supranatural.
Karena dahulu nenek moyang hidup menyatu dengan alam dan makluk supranatural,
sehingga mudah berelasi dengannya, entah demi tujuan yang baik maupun
sebaliknya. Dengan adanya relasi yang harMonis ini, manusia senantiasa berjumpa
dengan makluk supranatural sama seperti manusia dan bercakap-cakap dengannya.
Atas dasar inilah, ketika manusia Migani bertemu dengan sesamanya didahului
dengan pertanyaan: Tau Me te Miga Me? (setan atau pria sungguhan?), Tau Mina te
Miga mina? (setan atau wanita sungguhan?) dan seterusnya.
Pengunaan “Miga” selain untuk membedakan manusia sejati dari makluk
supranatural dan tuan tanah, juga digunakan untuk membedakan Migani dari
manusia suku bangsa tetangga lainnya, seperti suku bangsa Mee yang bediam di
bagian barat dari wilayah Intan Jaya, suku bangsa Damal, Dani dan Ndaua bagian
timur dan suku bangsa Wolani di sebelah utara.
Dalam pergaulan hidup sosial, nenek moyang manusia
Intan Jaya memperkenalkan jati dirinya kepada suku bangsa tetangga. Dengan
begitu, mereka dikenalnya sebagai suku bangsa Migani. Ketika nenek moyang
manusia Intan Jaya disapa Migani, mereka sungguh-sungguh merasa dihargai dan
percaya diri sebagai manusia sejati. Kini pun manusia Intan Jaya yang memahami
budayanya secara baik pasti merasakan hal yang sama. Karena sebutan Migani
mengandung unsur keaslian serta kesejatian budaya dan manusia.
Namun sekarang
kita sedang berhadapan dengan persoalan besar dimana sebutan Migani yang kaya
dan sarat dengan makna ini sudah ditinggalkan jauh dari hadapan manusia Intan
Jaya, bahkan terancam punah. Sebab sampai saat ini, manusia Intan Jaya sendiri
lebih suka memperkenalkan jati dirinya sebagai suku bangsa Moni. Pertanyaannya:
Benarkah Jati diri manusia Intan Jaya Moni? Mengapa lebih suka memperkelkan
diri sebagai suku bangsa Moni? Silahkan berfantasi. Namun berikut ini kami
perlu mengemukakan historis populernya sebutan Moni, hingga menjadi identitas
jati dirinya itu.
Definisi dan
Kronologi Munculnya Kata Moni
Definisi: Kata Moni berasal dari dua kata, yakni Mo
dan Ni. Kata Mo dalam bahasa daerah setempat sulit ditemukan, karena tidak
mengandung arti apa-apa. Dalam hal ini kami menyangsikannya bahwa mestinya
mengandung arti tertentu dalam bahasa daerah. Sedangkan kata Ni mengandung arti
kata sifat yang mengarah dan menunjuk pada manusia. Contoh; Dogandoga ni
(manusia dari daerah Dogandoga), Kemandoga ni (manusia dari daerah Kemandoga),
Weandoga ni (manusia dari Weandoga) dan sebagainya. Jadi, Moni berarti
titik-titik (......) manusia. Maknanya tidak jelas.
Kronologis: Dahulu manusia Intan Jaya dikenal oleh
suku bangsa tetangga di sekitarnya dan menyebutnya sesuai dengan bahasa daerah
mereka masing masing, tetapi itu hanya di kalangan mereka saja. Misalnya dari
suku bangsa Mee, mereka menyebutnya Mouw. Bagi mereka Mouw berarti suku bangsa
manusia di luar suku bangsanya (Mee/manusia sejati). Namun ketika berjumpa
dengan manusia Intan Jaya, mereka tetap menyapanya Migani.
Pada tahun 1969–1972, Nabire menjadi Kabupaten
induk yang merangkul seluruh wilayah pegunungan. Pada zaman ini, Bapak Karel
Gobai menjadi Bupati perintis. Daerah-daerah kekuasaannya mencakup seluruh
daerah pesisir Nabire, daerah Paniai, Intan Jaya, Ilaga, Wamena dan Timika.
Implementasi pembangunan memang mengalami kesulitan karena hampir seluruh
wilayah tersebut terisolir. Karena itu, kehidupan masyarakat pun masih amat
alami. Dalam suasana yang demikian, manusia Intan Jaya pun hidup sebagai
manusia Migani yang sejati. Dikatakan pada zaman itu, sebagai manusia sejati
mereka suka berperang antar sukunya. Kenyataan ini ditanggapi oleh Bupati Karel
Gobai secara serius dan berusaha menghentikannya beberapa kali, namun ia tidak
pernah berhasil. Karena itu, ia kecewa dan menyebut manusia Intan Jaya sebagai
manusia yang keras kepala. Menurut Bapak Benyamin Sondegau, “saat itu saking
kecewa dan marahnya Bupati, ia menyebut manusia Intan Jaya MONI”. Apa artinya
dan dari mana akar katanya? Diperkirakan, akar kata yang digunakan ialah dari
bahasa Mee, entah dari kata Mo yang berati “tali cawat yang besar” atau nomo
yang berarti keladi. Namun Bapak Benyamin Sondegau memastikan bahwa “MONI
diambil dari nomo (keladi), tetapi keladi yang dimaksud adalah keladi pedis dan
itu diidentikkan dengan manusia Migani yang suka perang dan susah diamankan”.
Jadi, sebutan Moni yang dilontarkan itu suatu pernyataan yang hendak
membahasakan bahwa manusia Migani itu sangat keras kepala (kepala-batu).
Berawal dari sinilah sebutan Moni ini populer di khalayak umum hingga detik
ini.
Lalu apa reaksi manusia Intan Jaya waktu itu?
Diperkirakan mereka menerima saja dengan bangganya. Karena bagi mereka sebutan
itu mengandung unsur maskulin atau kejantanan. Hal ini terbukti dari
karakternya yang tidak sudi disapa feminin, hingga detik ini juga. Contoh;
Mendaga gona atau Minaea ndane (bangsa pejantan atau pria bukan bangsa betina
atau wanita). Meskipun demikian, bagaimana pun juga kita sebagai manusia sejati
mesti berpikir dan mengembalikan identitas jati diri yang sebenarnya. Supaya
maksud sebutan itu tidak sampai dan mengakar dalam budaya yang sejati. Sebab secara
moral maknanya terkesan mengarah pada sisi negatif.
Kesimpulan
Manusia Intan Jaya di mana pun anda berada, kita
semua adalah subyek-subyek yang bereksistensi, yang memiliki kebebasan untuk
berada, berbudaya, berjati diri dan berakal budi untuk berpikir tentang alam,
budaya dan keberadaan diri kita sendiri demi tujuan yang mulia, yakni
memelihara, menjaga, melestarikan dan mengangkat menjadi khasana identitas suku
bangsa yang kokoh. Karena itu, setelah anda menelusuri klarifikasi ini, anda
berpikir apa? Silahkan berfantasi lagi! Tetapi anda mempunyai kesempatan untuk
memutuskan identitas jati dirimu yang bereksistensi. Untuk itu, pandanglah
fakta kebenaran historis budayamu sebagai insan yang berbudaya. Berpikirlah
sebagai subyek terhadap realitas yang tampak di depan matamu ini, lalu silahkan
gunakan rasiomu memilih dan memutuskan. Putuskanlah.........!
Keputusan akhir yang kami tekankan di sini, setelah
menelusuri klarifikasi gradasi kata Moni dan Migani adalah bersifat ajakan,
mari “kembali ke alam kita (Back To Our Nature)”. Kembali mengenakan identitas
jati diri warisan nenek moyang kita “MIGANI”. Jati diri ini adalah kebenaran
hakiki yang telah terbukti dalam bahasa daerah dan historis budaya kita. Karena
itu, sekali lagi dengan sadar dan berani kami mengajak kita semua kembali
kepada identitas jati diri yang sebenarnya. Identitas jati diri manusia Intan
Jaya adalah Migani. MIGANI adalah manusia sejati yang berdomisili di seluruh
wilayah Dogandoga-Kemandoga dan Mbiandoga (Intan Jaya).
Perlu diketahui bahwa MIGANI mengandung unsur nilai
budaya yang luhur dan sejati, menunjukkan nilai manusia yang luhur dan sejati
serta mengandung penghargaan yang mendalam terhadap budaya, nenek moyang dan
alam Intan Jaya, dibandingkan dengan sebutan Moni. Karena itu, jadilah manusia Migani
yang sejati.
Jadi, identitas jati diri manusia Intan Jaya adalah
MIGANI. Migamene Amakaniee......
Penulis adalah mahasiswa semester empat (Tingkat dua) pada Seklah Tinggi Filsafat dan Theologia Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Papua.
0 komentar:
Posting Komentar