KOMISI Somatua Intan Jaya

Komunitas Independent Somatua Intan Jaya adalah sebuah wadah yang lahir dari kegelisahan hati dan pergumulan mahasiswa dan pelajar Intan Jaya yang ada di kota study Jayapura untuk memproteksi manusia dan alam yang ada di kabupaten ntan jaya dan secara umum di Papua.

BAHASA DAERAH TERANCAM PUNAH

Posted by KOMISI SOMATUA on Sabtu, 29 September 2012


Yeskiel Belau, Foto : Dok Pribadi
Bahasa daerah adalah bahasa yang secara tradisional digunakan dalam suatu wilayah, oleh warga yang tinggal di wilayah tersebut. Bahasa daerah secara numerik membentuk kelompok yang lebih kecil dari populasi lainnya di negara. Tentunya dialek bahasa itu berbeda dari bahasa lokal lain dan bahasa negara. Namun ada pihak yang menyamaratakan dialek non-lokal di wilayah lokal. Efeknya semakin meluas di kalayak. Maka diprediksi bahasa daerah lokal akan punah.

Suatu kali saat pulang kampung di pegunungan tengah Papua, saya pernah singgah di Nabire. Di sana saya terperangah dengan siaran radio lokal. Bukan soal isinya yang menurut saya biasa saja. Tetapi penggunaan bahasa yang sangat mirip dengan radio lokal di Jakarta. Sebutan gue, elu, nyokap, bokap, jadi idiom yang disebut terus menerus saat siaran oleh sang penyiar.

Jujur saya kaget. Kalau begini, apa bedanya radio daerah dengan radio di Jakarta? Mulai dari lagu, gaya bahasa hingga cara berguraunya pun mirip dengan gaya gaul anak Jakarta. Saya yang pulang kampung berniat mendapat sesuatu yang khas daerah, ternyata tidak merasakan keunikan tersebut. Apa yang saya dengar sama persis, bahkan kadang cenderung berlebihan jika dibandingkan dengan gaya siaran radio di Jakarta. Telinga saya jadi menyerap sesuatu yang aneh, mendengar gaya bahasa slang Betawi dengan dialek medok Jawa. Campur aduklah kedengarannya.

Usut punya usut, ternyata barangkali salah satu penyebabnya adalah adanya jaringan radio ibukota yang beroperasi hingga pelosok nusantara. Dari sisi bisnis memang keberadaan jaringan radio (radio network) merupakan sesuatu yang menggiurkan. Mereka meluaskan jangkauan mulai dari ibukota hingga ke pelosok. Ini juga sekaligus ‘mengimpor’ banyak hal yang sedang menjadi tren di ibukota, mulai dari teknologi, modal hingga itu tadi, gaya berbahasa.
Mungkin para penyiar radio daerah merasa bangga bisa bergaya bahasa persis seperti rekan mereka dalam satu jaringan radio. Tapi mereka agaknya lupa, apa yang mereka lakukan sesungguhnya justru ‘membunuh’ keragaman bahasa daerah tempat mereka berada sendiri. Karena para penyiar ini justru bangga dengan bahasa Indonesia berdialek Betawi yang mereka gunakan. Mereka pelan-pelan secara tak langsung tidak lagi menggunakan dialek bahasa daerah tempat mereka tinggal.

Dampaknya? Selain makin menjauhkan para penyiar tadi dengan bahasa daerah, yang paling parah adalah terpaan siaran radio itu yang membuat masyarakat perlahan meninggalkan bahasa daerahnya sendiri. Ini tak bisa dibiarkan! Mestinya keberadaan radio daerah dipantau sedemikian rupa untuk memelihara keberagaman budaya lokal. Karena keberagaman inilah yang membentuk satu Indonesia. Radio berjaringan tidak salah, yang salah jika menyamakan semua gaya bahasa menjadi satu, gaya bahasa kota, sehingga identitas lokal pun menghilang.

Saya jadi ingat sebuah artikel di situs internet yang pernah baca. Artikel itu berjudul “Jarang Digunakan, Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah” yang berisi kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah di Indonesia lantaran jarang digunakan. Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa, Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono dalam tulisan itu memperkirakan di penghujung abad 21, jumlah bahasa daerah akan menyusut, yang semula 746 bahasa daerah, menjadi hanya 75 bahasa daerah saja. Wah! Kalau ini benar, maka kondisinya sudah semakin serius parahnya.

Seperti dilansir artikel tersebut, Sugiyono mengatakan, salah satu penyebab makin tidak populernya bahasa daerah adalah karena alasan urbanisasi dan perkawinan antar etnis. Mereka yang menikah dengan etnis lain dan pindah ke kota, punya kecenderungan bakal meninggalkan bahasa daerahnya dan lebih memilih bahasa Indonesia sebagai alat komunikasinya.

Saya sendiri tidak anti perkawinan antar etnis. Justru perkawinan antar etnis menurut saya perlu untuk meningkatkan keberagaman dan pemahaman antar etnis yang di beberapa daerah masih rendah. Namun harusnya perkawinan antar etnis tidak mematikan keberadaan bahasa daerah itu sendiri. Harusnya kedua pihak yang menikah justru menyuburkan pemakaian bahasa daerah pada anak-anak mereka.
Coba bayangkan, alangkah indahnya jika sebuah keluarga yang merupakan hasil perkawinan antar etnis di luar Papua dan Papua maupun Papua dengan Papuan yang berbeda bahasa daerah mengajarkan kedua bahasa daerah pada anak-anaknya. Anak-anak akan punya ketrampilan berbahasa yang lebih kaya. Tidak hanya satu bahasa Indonesia, namun juga bahasa ayah dan ibunya.

Lalu bagaimana agar bahasa daerah tetap lestari dan digunakan di negeri ini? Peran seorang ibu sangat jelas dalam mengajarkan ketrampilan berbahasa. Tidak usah mencari contoh jauh-jauh, teman saya sendiri (Jhon Asmuruf) lahir-besar di kota, bisa dan mengerti bahasa Hayamaru (Sorong) karena ibunya kerap mengajak bercakap dalam bahasa Hayamaru sejak kecil. Dan, itu hanya dilakukan dalam lingkup rumah saja. Jika bertemu dengan orang dari etnis lain, dia selalu menggunakan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia sebagai jembatan komunikasi.

Setelah besar kemampuan berbahasa Daerah Jhon tidak lantas hilang meski bapak-ibunya berurbanisasi dari Sorong Kota ke Holandia. Hal ini adalah hasil proses panjang yang dilakukan ibunya di rumah. Cara ini bisa dicontoh siapapun, dengan satu atau dua etnis dalam satu rumah.

Kenapa kita tidak mulai dari dari sekarang? Jika bahasa daerah kita yang beragam punah, yang rugi tentu kita sendiri. Bangsa yang besar dari keberagaman suku, budaya dan bahasa ini akan hilang keunikannya jika bahasa daerah menghilang dari bumi Indonesia. Setuju bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan, tapi jangan pernah lupakan akar budaya kita masing-masing. Banggalah dengan bahasa daerah kita masing-masing, karena dengan itu ke-Indonesiaan kita makin tampak.

Oleh : Yeheskiel Belau
Penulis adalah mahasiswa semester 3 SFTF Fajar Timur

Blog, Updated at: 03.14

0 komentar:

Posting Komentar

BERITA TERBARU

Komisi Somatua Intan Jaya. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts