Yeskiel Belau, Foto : Dok Pribadi |
Suatu
kali saat pulang kampung di pegunungan tengah Papua, saya pernah
singgah di Nabire. Di sana
saya terperangah dengan siaran radio
lokal. Bukan soal isinya yang menurut saya biasa saja. Tetapi penggunaan bahasa yang sangat mirip
dengan radio lokal di Jakarta. Sebutan gue, elu, nyokap, bokap, jadi idiom yang
disebut terus menerus saat siaran oleh sang penyiar.
Jujur
saya kaget. Kalau begini, apa bedanya radio daerah dengan radio di Jakarta?
Mulai dari lagu, gaya bahasa hingga
cara berguraunya pun mirip dengan gaya gaul anak Jakarta. Saya yang pulang
kampung berniat mendapat sesuatu yang khas daerah, ternyata tidak merasakan keunikan tersebut. Apa
yang saya dengar sama persis, bahkan kadang cenderung berlebihan jika
dibandingkan dengan gaya siaran radio di Jakarta. Telinga saya jadi menyerap
sesuatu yang aneh, mendengar gaya bahasa slang Betawi dengan dialek
medok Jawa. Campur aduklah kedengarannya.
Usut
punya usut, ternyata barangkali salah satu penyebabnya adalah adanya jaringan radio ibukota
yang beroperasi hingga pelosok nusantara. Dari sisi bisnis memang keberadaan
jaringan radio (radio network) merupakan sesuatu yang menggiurkan. Mereka
meluaskan jangkauan mulai dari ibukota hingga ke pelosok. Ini juga sekaligus
‘mengimpor’ banyak hal yang sedang menjadi tren di ibukota, mulai dari
teknologi, modal hingga itu tadi, gaya berbahasa.
Mungkin
para penyiar radio daerah merasa bangga bisa bergaya bahasa persis seperti
rekan mereka dalam satu jaringan radio. Tapi mereka agaknya lupa, apa yang
mereka lakukan sesungguhnya justru ‘membunuh’ keragaman bahasa daerah tempat
mereka berada sendiri. Karena para penyiar ini justru bangga dengan bahasa
Indonesia berdialek Betawi yang mereka gunakan. Mereka pelan-pelan secara tak
langsung tidak
lagi menggunakan dialek bahasa
daerah tempat mereka tinggal.
Dampaknya?
Selain makin menjauhkan para penyiar tadi dengan bahasa daerah, yang paling
parah adalah terpaan siaran radio itu yang membuat masyarakat perlahan
meninggalkan bahasa daerahnya sendiri. Ini tak bisa dibiarkan! Mestinya keberadaan radio daerah dipantau
sedemikian rupa untuk memelihara keberagaman budaya lokal. Karena keberagaman
inilah yang membentuk satu Indonesia. Radio berjaringan tidak salah, yang salah jika menyamakan
semua gaya bahasa menjadi satu, gaya bahasa kota, sehingga identitas lokal pun
menghilang.
Saya
jadi ingat sebuah artikel
di situs internet yang pernah baca. Artikel itu berjudul “Jarang Digunakan, Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia
Terancam Punah”
yang berisi kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah di Indonesia lantaran
jarang digunakan. Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa, Badan Bahasa Kementerian Pendidikan
Nasional, Sugiyono dalam tulisan itu memperkirakan di penghujung abad 21,
jumlah bahasa daerah akan menyusut, yang semula 746 bahasa daerah, menjadi
hanya 75 bahasa daerah saja. Wah! Kalau ini benar, maka kondisinya sudah semakin serius
parahnya.
Seperti
dilansir artikel tersebut, Sugiyono mengatakan, salah satu penyebab makin tidak
populernya bahasa daerah adalah karena alasan urbanisasi dan perkawinan antar
etnis. Mereka yang menikah dengan etnis lain dan pindah ke kota, punya
kecenderungan bakal meninggalkan bahasa daerahnya dan lebih memilih bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasinya.
Saya
sendiri tidak anti perkawinan antar etnis. Justru perkawinan antar etnis
menurut saya perlu untuk meningkatkan keberagaman dan pemahaman antar etnis
yang di beberapa daerah masih rendah. Namun harusnya perkawinan antar etnis
tidak mematikan keberadaan bahasa daerah itu sendiri. Harusnya kedua pihak yang
menikah justru menyuburkan pemakaian bahasa daerah pada anak-anak mereka.
Coba
bayangkan, alangkah indahnya jika sebuah keluarga yang merupakan hasil perkawinan
antar etnis di luar Papua dan Papua maupun Papua dengan Papuan yang berbeda bahasa
daerah mengajarkan kedua bahasa daerah pada
anak-anaknya. Anak-anak akan punya ketrampilan berbahasa yang lebih kaya. Tidak
hanya satu bahasa Indonesia, namun juga bahasa ayah dan ibunya.
Lalu
bagaimana agar bahasa daerah tetap lestari dan digunakan di negeri ini? Peran
seorang ibu sangat jelas dalam mengajarkan ketrampilan berbahasa. Tidak usah mencari contoh jauh-jauh, teman saya sendiri (Jhon Asmuruf) lahir-besar
di kota, bisa dan
mengerti bahasa Hayamaru (Sorong) karena ibunya kerap mengajak bercakap dalam bahasa Hayamaru sejak kecil. Dan, itu hanya dilakukan dalam lingkup
rumah saja. Jika bertemu dengan orang dari etnis lain, dia selalu menggunakan bahasa nasional,
yakni bahasa Indonesia sebagai jembatan komunikasi.
Setelah
besar kemampuan berbahasa Daerah Jhon tidak lantas hilang meski bapak-ibunya berurbanisasi dari Sorong Kota ke Holandia. Hal ini adalah hasil proses panjang yang
dilakukan ibunya di
rumah. Cara ini bisa dicontoh siapapun, dengan satu atau dua etnis dalam satu
rumah.
Kenapa
kita tidak mulai dari dari sekarang? Jika
bahasa daerah kita yang beragam punah, yang rugi tentu kita sendiri. Bangsa
yang besar dari keberagaman suku, budaya dan bahasa ini akan hilang keunikannya
jika bahasa daerah menghilang dari bumi Indonesia. Setuju bahasa Indonesia
digunakan sebagai bahasa persatuan, tapi jangan pernah lupakan akar budaya kita
masing-masing. Banggalah dengan bahasa daerah kita masing-masing, karena dengan
itu ke-Indonesiaan kita makin tampak.
Oleh
: Yeheskiel Belau
Penulis
adalah mahasiswa semester 3 SFTF Fajar Timur
0 komentar:
Posting Komentar