KOMISI Somatua Intan Jaya

Komunitas Independent Somatua Intan Jaya adalah sebuah wadah yang lahir dari kegelisahan hati dan pergumulan mahasiswa dan pelajar Intan Jaya yang ada di kota study Jayapura untuk memproteksi manusia dan alam yang ada di kabupaten ntan jaya dan secara umum di Papua.

Cara Kapitalisme Menguras Dan Membunuh Masyarakat Pribumi

Posted by KOMISI SOMATUA on Jumat, 28 September 2012



Di belahan dunia mana saja, kapitalisme atau investasi atau orang yang mempunyai Modal atau “Sekelompok Orang yang mempunyai banyak Uang”, yang mengontrol Dunia atau dunia berada digenggaman tangan mereka, artinya orang-orang yang mempunyai banyak uang ini, akan menyalurkan Uang kepada negera-negara yang mengandung Kekayaan Alam. Seperti Presiden Indonesia SBY atas kekayaan Alam  Papua.

Apapun yang diminta oleh prisiden SBY akan diberikan oleh orang-orang yang mempunyai banyak uang ini. Orang-orang pemodal atau kapitalisme ini juga yang mengontrol PBB dan Amerika Serikat agar PBB dan Amerika Serikat melindungi dan mengamankan kebun raksasa di Tanah Amungsa Mimika, yaitu PT. Freeport sehingga apaun yang diminta oleh PBB dan Amerika Serikat menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan oleh Mofet dan kawan-kawannya guna mengamankan Kebun atau Perusahan Raksasa di Timika. Hal yang sama juga akan dilakukan di Intan Jaya.

Kapitalisme/ Investasi atau orang yang mempunyai banyak uang ini mereka sudah mengetahui kekayaan alam di suatu daerah atau wilayah, seperti di wilayah Indonesia dan khususnya di papua. Cara pertama yang akan dipakai kapitalisme adalah bagimana membangun hubungan kerja sama antara kedua negara, seperti Amerika Serikat dan Indonesia.

Apapun (Uang) yang diminta oleh presiden Indonesia akan ditepati oleh Kapitalisme itu dan hal itu merupakan hal yang mutlak dilakaukan oleh Kapitalisme/ Investor dalam rangka mengamankan Tambang Emas, Minyak, maupun yang lain-lain di suatu daerah, seperti Tambang Emas di Intan Jaya.

Kapitalisme akan menyiapkan dan menyerakan  “Uang kepada Presiden Indonesia. Selanjutnya  Presiden Indonesia akan menyiapkan “Uang, Aturan serta menurunkan Perintah kepada Gubernur” di suatu daerah yang memiliki sumber daya Alam. Seperti Gubernur Barnabas Suebu, atas kekayaan alam Intan Jaya. 

Selanjutnya Gubernur akan “Melanjutkan Uang dan Aturan” ke Bupati, seperti Bupati  Kabupaten Intan Jaya. Selanjutnya, Uang dan aturan itu akan terkandas di kabupaten. Bupati hanya melanjutkan Perintah ke Lembaga Swadaya Masyarakat (Gereja), Dewan Adat, Kepala Suku, Pemilik Hak Ulayat maupun orang-orang yang berkuasa di wilayah Penambangan itu”.  Hal ini akan dilakukan   
secara rapih dan sistematis untuk mempengaruhi dan memanfaatkan keterbatasan pengetahuan masyarakat setempar ( Seperti Masyarakat Intan Jaya ).

Orang-orang yang berada di kabupaten Intan Jaya  akan main secara rapi, halus dan pelan, seperti memberi Uang dalam jumlah Yang sangat kecil kepada salah satu tokoh masyarakat pemilik ulayat (Aita Kigi Ka Taguya Elaee), membeli minyak goreng, garam, peksin dan lain-lain guna mempengaruhi dan memanfaatkan keterbatasan pengetahuan masyarakat pemilik hak ulayat, agar masyarakat pemilik ulayat menyetujui permintaan pemerintah daerah setempat dan Investor.   

Ingat hal ini selalu terjadi di mana-mana, guna merampas, menguras dan membunuh masyarakat setempat secara Sistematis dan Otomatis. Sehingga “Masyarakat Setempat pun Tidak pernah Sadar “ Akan Ular Beludak lidah dua yang selalu datang menipu masyarakat setempat.  Pada tahap tertentu, keterbatasan pengetahuan masyarakat setempat selalu dimanfaatkan oleh orang-orang yang menganggap diri mereka manusia dan Manusia yang lain  bukan manusia. Sebab orang/kelompok tersebut  menjual dan mengorbankan sesama manusia dengan cara memasukkan perusahan di wilayah tersebut, tanpa memperhatikan dampak (Limbah) yang akan dibuang ke muara sungai Kemabu, Wabu, Dogabu dan Mbiabu maupun sungai-sungai lain di Intan Jaya.

Orang/kelompok yang “memasukan dan menerima perusahan Tambang di Intan Jaya“  menganggap dirinya manusia dan manusia lain, yang menghuni di pinggiran sungai-sungai di Intan Jaya bukan manusi yang menyerupai  TUHAN YESUS, karena orang/kelompok  tersebut hanya mencari kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan bahaya limba dan bahaya Investasi yang akan menguasai tanah, hutan maupun alam Intan Jaya.

Kita musti mengerti dan menyadari bahwa Negara Amerika serikat maupun negara-negara neo-kolonial lainya masuk, terutama  melalui pintu agama dan pendekatan budaya lalu menyebarkan agama disuatu daerah atau wilayah lalu meneliti alam di sekitarnya terutama yang diteliti adalah budaya setempat, setelah orang yang membawa agama itu mengetahui “budaya dan kekayaan alam” setempat seperti Emas, Tambang atau sejenisnya, maka orang yang tadinya membawa agama itu akan melobi para Kapitalisme atau kaum pemodal untuk  mendatangkan dan memasukan perusahan dengan memanfaatkan keterbatasan pengetahuan masyarakat pribumi.  Negara Amerika  Sebagai negara yang memegang  teguh slogan “Blok barat atau Kapitalisme” yang jelas dia akan menanamkan modalnya di daerah atau wilayah yang dikuasainya tanpa peduli terhadap masyarakat setempat.

“Sadarlah dan ketahuilah Bahwa: Perusahan Tambang Emas yang masuk di Timika dan yang masuk di Intan Jaya dan sedang Operasi Eksplorasi di Intan Jaya, maupun perusahaan- Perusahan lain yang masuk di  dibeberapa daerah di papua, bahkan Dunia Tidak Butuh Manusia atau Masyarakat Di sekitarnya.  Catat dan Ingat kalimat ini baik- baik”. Yang dibutuhkan kapitalisme/Investor  hanyalah mencuri, merampas, menggarap dan  menghabiskan Tanah dan Alam Intan Jaya, yang akan berakibat pada pembasmian dan pemusnahan beberapa etnis di Kabupaten Intan Jaya,.!!! Ingat dan Igat kalimat ini.

Begitu perusahaan itu “Mulai Tumbuh dan Beroperasi”, maka  Presiden akan menurunkan “Aturan yang mengikat masyarakat setempat”. Aturan itu seperti memfasilitasi dan mendatangkan TNI/POLRI sebanyak mungkin untuk menjaga “kebun” atau perusahaan tambang  para  Investor.
Maupun aturan dalam  pemerintah daerah setempat. Presiden  akan menyiapkan dan mendatangkan TNI/POLRI dan  Investor akan memberi makan dan jaminan secara baik dalam jumlah yang sangat banyak dari hasil garapan “kebun/ perusahaan tambang itu” .  agar TNI/POLRI menjaga “kebun” para investor dengan baik dan terkendali. 

Yang menjadi contoh Nyata dimata kami adalah masuknya perusahan Raksasa milik Ameriaka Serikat PT. Freeport Mc Moran Gold & Copper pada tanggal 07 April 1967 di Timika Papua. Yang telah menelan ribuan ribuh manusia papua maupun non papua. Bagai siapa saja yang melawan atau menuntut hak ulayat mereka  dicap sebagai Organisasi Papua Merdeka  (OPM) atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) sehingga harus ditembak mati. Begitu perusahaan Tambang mulai “tumbuh subur”, tetapi masyarakat setempat masih tetap meminta hak ulayat mereka atau menganggu perusahaan, maka  Investor akan meng- Setting keadaan sedemikian rupa untuk meng-Ahli-kan Isu masyarakat setempat agar masyarakat setempat saling perang antara satu sama yang lain, sementara tambang “Tambang Emas terus dikuras dan dihabiskan”. 

Hal ini selalu terjadi dimana-mana,  karena Orang yang membawa Agama itu sudah mengetahui budaya setempat dan ditambah dengan penelitian –penelitian yang disponsori oleh kaum pemodal/ Investor tadi, seperti penelitian yang di lakukan dari perguruan tinggi ATMA JAYA beberapa bulan lalu di sugapa Intan jaya.  Ini memang cara-cara neo-kolonial yang selalu dipraktekan dibelahan dunia mana saja.  Guna menipu, merampas, menguras, memecah-belakan dan memusnahkan masyarakat pribumi dari tanah leluhur-nya yang Tuhan berikan. 

Cara yang selalu digunakan oleh neo- kolonial di belahan dunia  mana saja adalah bagimana 
menghancurkan budaya setempat.  Ketika budaya setempat sudah dihancurkan, maka jati diri sebagai orang pribumi terhilang; jika ini yang terjadi, maka dasar pijakan terhilang, hancur dan kehilangan arah hidup, setelah budaya dihancurkan, seperti masuknya Beras Raskin dan Masuknya uang Turkam agar orang Tua Kita yang dulunya bekerja rajin, menjadi Pemalas dan  menggantungkan hidup  pada uang turkam dan beras raskin, bukan itu saja pasti diantara kita ada yang tidak tau bahasa Ibu atau “Miga Dole”.

Bahasa, lagu, rumah, noken, cara berkebun, cara berbicara, cara bercanda, cara berbusana adat, gelang, kalung dan masih banyak hal yang tidak dapat dimuat dalam tulisan. hal inilah yang dikatakan “JATI DIRI”.  Apabila hal-hal ini sudah dihancurkan dan dimusnahkan oleh Neo-Kolonial,  maka neo- kolonial “Akan Menguasai Tanah dan Kekayaan Alam setempat”.  Begitu tanah dan kekayaan alam sudah di Kuasi oleh Neo- Kolonial, maka habis juga masyarakat setempat, karena segala Kekayaan Alam, Tanah dan Hutan Milik-nya sudah di Jual Habis, kepada Orang Pendatang. Catat dan Ingat Kalimat ini Baik-baik,!!!

Yang jelas-jelas masyarakat di Kabupaten Intan Jaya akan punah dan tinggallah sejarah bahwa di Intan Jaya pernah hidup beberapa suku. Kita sebagai penghuni Intan Jaya musti sadari bahwa letak kabupaten Intan Jaya  yang sangat sempit dan masyarakat pada umumnya “meng-Gantungkan hidup mereka pada sungai Wabu, Kemabu, Mbiabu dan sungai-sungai  lainnya di Intan Jaya”.  Apabilah perusahaan PT. Freeport “dipaksakan”, maka yang jelas limba akan dibuang kesungai Wabu, kemabu, Mbiabu dan sungai-sungai lainnya di Intan Jaya, maka Habislah masyarakat Intan Jaya dan di tambah dengan “penguasaian  tanah”    dari orang pendatang yang akan berakibat pada penyinggiran masyarakat intan jaya secara sistematis dan otomatis yang menuju kepemusnaan etnis secara pelan tapi pasti.

Untuk  Lebih  Jelas  Mari  kami  baca  Sebuah  Kisah  Pembodohan, Pencurian  dan  Penipuan  serta  perampasan Alam  dan Tanah  Yang Dilakukan  Oleh  PT. Freeport  Terhadap  Masyarakat Di  Kabupaten  Intan Jaya,  Dibawa Ini;

Intan jaya merupakan kabupaten pemekaran dari  kabupaten Pania pada tahun dua ribu delapan lalu. pada saat itu Sugapa, Hitalipa dan beberapa daerah lainya di Intan Jaya masih di atur oleh pemerintah daerah Kabupaten Paniai. Disaat itu Pada awal tahun 1989-1990 datanglah beberapa orang barat yang menamakan diri Tim Survei.  Tim survei ini diantar oleh anak pekabaran Injil di Distrik Hitalipa, yakni Jani mala, panggilan yang akrab dipakai oleh masyarakat setempat, nama sebenarnya adalah John Cutts.

Mereka datang dari Timika menggunakan Helikopter milik Airfast, setelah tibah di pos misionaris Kingmi Distrik Hitalipa mereka melanjutkan perjalanan ke Sungai Hiyabu yang letaknya tidak jau dari Pos misionaris tersebut. Setelah tibah di sungai tersebut mereka mengambil sampel berupa pasir, air dan batu-batuan dari sungai tersebut. setelah itu mereka melanjutkan perjalanan ke muarah sungai Hiyabu dan Dogabu lalu melanjutkan perjalanan ke muara sungai Wayabu dan Wabu dan melanjutkan perjalanan ke beberapa anak sungai dari kali Wabu. Mereka mengambil semua sampel dari sungai-sungai tersebut  berupa pasir, air dan  batu- batuan.

Di sungai wabu John Cutts sempat bertemu dengan sala satu warga setempat, yakni Stevanus Sondegau di Wandoga, yaitu di Wonemiggi talipa atau kali wonemiggi. John dan teman-temanyan terus melanjutkan perjalanannya ke muara sungai Tigabu dan mengambil sampel pasir,air dan batu-batuan lalu mendulang pasir. Saat itu John sempat bertemu dengan sala satu warga setempat, yakni Ojegoa Tawa Mbole Belau, nama setempat atau Didimus Belau.

Didimus Belau merupakan warga Desa Bilogae Distrik Sugapa yang hari-harinya berladang Ubi, Keladi dan tanaman lainnya disepanjang sunagai Tigitalipa. Seperti biasanya John Cutts menggunakan bahasa setempat, yakni bahasa Moni, ia memberikan Informasi kepada Didimus mengenai kegiatan yang di jalaninya saat itu.

Kata John Cutts kepada Didimus dalam bahasa Moni “ A me,..mepao,..mendaga kaneta taliago kaya, Hitalipagemaya tali ne,..du ne,..homa ne,.. inigiao dia digio,. usua  naga ndogo- Timika ge inua noa nggaga  inuapa dutima dia diggiyo,.data kapage go wabu ge dega-dega data homeyo pialiggiyo dipage go Timika puapaya tutur John” artinya: mepa saya ikut orang-orang ini jalan ambil air, batu dan pasir dari Hitalipa untuk dilihat dalam laboratoriumTimika, dari sini kami akan melanjutkan perjalanan mengikuti hulu sungai Wabu lalu ke Distrik Homeyo dan selanjutnya kami akan ke Timika.  John Cutts yang selalu di sapa masyarakat setempat Jani Mala bersama rombongan Tim Survei menuju Distrik Homeyo.

Setelah beberapa bulan kemudian tepatnya pada tanggal 28 september 1991 John Cutts mewakili PT. Freeport berkunjung yang kedua kalinya ke Sugapa Intan Jaya. Tujuan John Cutts adalah untuk bertemu dengan kepala Distrik Sugapa dan Para kepala suku untuk menyampaikan kegiatan PT. Freeport yang akan beroperasi  di Distrik Sugapa dan Beberapa Distrik lainya di Intan Jaya.

Di saat itu pertemuan diadakan  di kantor Camat Sugapa dan dihadiri oleh Hombore B.A selaku kepala Camat Sugapa saat itu dan unsur Tripika Kecamatan serta beberapa tokoh masyarakat pemilik ulayat ikut hadir dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh John Cutts di kantor tersebut. 

Tokoh- tokoh masyarakat Moni pemilik ulayat yang hadir dalam pertemuan itu antara lain: Paulus Japugau, Yuliu Sani, Adolof Belau, Oktopianus Sondegau, Samuel Japugau, Samuel Japugau, Andreas Tipagau, dan Bony Sondegu dan beberapa tokoh lainya, setelah mereka mendengar penjelasan dari John Cutts tokoh-tokoh  masyarakat malah bingung dan tidak mengerti tujuan John untuk melakukan Eksplorasi (Survei) di daerah mereka, sehingga masyarakat langsung pulang kerumah mereka “tanpa menyepakati atau menyetujui” keinginan John Cutts untuk melakukan eksplorasi di daerah mereka. 

John Cutts memanfaatkan keterbatasan pengetahuan dan ketertinggalan masyarakat Intan Jaya  dan memasukan PT. Freeport dengan inisiatif sendiri tanpa melakukan “Perjanjian Kerja Sama / MOU ” dengan masyarakat pemilik ulayat. Walaupun “Perjanjian Kerja Sama / MOU ” belum dibuat, namun John Cutts tetap memaksakan keinginana-nya dengan mendatangkan PT. Freeport untuk Operasi Eksploitasi di Sugapa dan beberapa Distrik  lainya di Intan Jaya. Cara John Cutts Ibarat perampok dan Pencuri di Siang Hari.

Cara John Cutts ini menjadi kesempatan bagi PT. Freeport untuk melakukan Eksplorasi di Sugapa, Hitalipa dan beberapa Distrik lainya di Intan Jaya, sehingga masyarakat tinggal menerima apa adanya lalu masyarakat hanya “mengusulkan kepada PT. Freeport tanpa tertulis” memperbolehkan melakukan aktifitas Eksplorasi, tetapi sebagai ganti rugi pepohonan yang ditebang  oleh PT. Freeport untuk helipad, drillpad, material pad dan lain- lain harus menerima masyarakat setempat sebagai karyawan  di sugapa saat itu, tutur sala satu tokoh masyarakat  pemilik ulayat  yang dipercayai di kampung itu.

Begitu menerima beberapa pemuda dari kampung sebagai karyawan lokal untuk bekerja sebagai karyawan 
 PT. Freeport  di Sugapa, namun mereka mengalami banyak hambatan. Meraka tidak tau apa yang harus mereka buat. Setiap pagi pukul 04. 30 subuh mereka sudah harus menyiapkan bahan dan alat untuk membangun base camp, membongkar tanah dan karyawan lainya naik turun ke hutan tempat dimana akan dibangun  Halipad, Drillpad, Materialpad dan Landing site. Hari bergani- hari minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan  karyawan lokal menerima upah mereka dalam jumlah yang sangat kecil.

Helikopter yang di sewa untuk  eksplorasipun pergi pulang Timika tanpa henti-hentinya untuk mengantar  makanan para karyawan lokal di sugapa Intan Jaya. Begitu Eksplorasi di sugapa mulai “Tumbuh Subur” Camp Manager PT. Freeport menerima TNI/POLRI yang saat itu bertugas di kecamatan Sugapa untuk mengamankan situasi  setempat.

Untuk membangun camp tentu perusahaan membutukan bahan bangunan, sehingga perusahan meminta masyarakat setempat untuk menyiapkan papan dan kayu buah dengan perjanjian akan dibayar,yaitu papan runcing, dengan harga RP. 15.000;- perlembar, kayu buah yang besar RP. 10.000;- dan kayu Buah sedang sebesar RP. 5.000;- perbuah. Mendengar informasi itu masyarakat setempat menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan perusahaan. Namun sangat disedihkan, bagi masyarakat setempat karena dalam pembayaran bahan-bahan lokal yang disiapkan masyarakat dibayar tidak sesuai dengan perjanjian yang sudah ditetapkan oleh PT. Freeport, malah harus ditawar lagi menjadi harga yang paling rendah dan dibelinya. Dalam transaksi tersebut masyarakat ada yang protes, maka akan berhadapan dengan TNI/POLRI untuk mengamankan masyarakat.

Apabila ada masyarakat yang masih protes, maka persoalan tersebut akan diproses oleh TNI/POLRI yang bertugas disitu, seperti salah satu warga setempat yang protes, yakni Linus Sondegau, namun sayangnya dia dipukul sampai babak belur dan terjadilah perkelahian masal antara TNI/PORI dan karyawan lokal.

Melihat hal itu masyarakat setempat tak kuasa untuk melalkukan protes lagi terhadap penipuan yang dilakukan oleh PT. Freeport di Sugapa Intan Jaya.  Sedangkan John Cutts entah kemana perginya, setelah dia mendatangkan orang-orang yang tidak tau kasih itu. Karyawan lokal hanya menerima semua itu dengan berkepala dingin, karena mereka belum siap menjadi karyawan.  Masyarakat setempat yang diterima sebagai Tim Hoist banyak yang jatu dari hilikopter, karena belum dibekali pengetahuan tentang keselamatan kerja. Beberapa karyawan lokal jatuh dari hilikopter saat terjun dari udara dengan tali pengikat, seperti sala satu karyawan  yang tersangkut dipohon yang letaknya dipundak gunung Wabu-Sugapa.

Karyawan itu tidak tertolong namun untungnya helikopter melepaskan tali pengikat, sehingga karyawan yang bernama Didimus Japugau tersangkut di atas dahan pohon. Kebun-kebun masyarakat setempat rusak ulah dari angin hilikopter saat mendarat membawa alat-alat perusahaan ke lokasi kerja. Pemilik kebun menuntut agar membayar semua kebun yang dirusakan oleh helikopter milik PT. Freeport, namun apa boleh buat karena prosesnya diahlikan ke pihak TNI/POLRI di Kecamatan Sugapa saat itu. Sehingga masyarakat menerima semua ketidakadilan itu dengan lapang dada. 

Kegiatan Eksplorasi dilakukan di tempat-tempat sasaran masyarakat, seperti tempat berburuh, tempat mencari rotan, tempat mencari kayu, maupun tempat berkebun. Base Camp Bilagae- Sugapa dijaga ketat oleh TNI/POLRI dan melarang masyarakat berkeliaran sing dan malam hari di base camp. Babi masyarakat desa Bilogae diburuh 2- 3 ekor oleh keamanan yang menjaga base camp tanpa memberitahu kepala desa bilogae terlebi dulu, separuh daging diminta begitu saja  oleh anggota, kata mereka mengganti peluruh yang hilang,sehingga mau-tidak mau pemilik babi menerima semua itu dengan lapang dada.

Malam hari base camp bilogae (Wabu) memanfaatkan kesempatan untuk membawa gadis- gadis kampung 
yang masih dibawah umur lalu melakukan hubungan setubuh selayaknya suami istri, bahkan beberapa istri orang diperlakukan hal yang sama.

Dilain kesempatan karyawan lokal diajar bermain judi dan hal-hal negatif  lainya. Apabila karyawan lokal ingin mengunjungi kelurgannya yang sakit malah dibentuk,  Ayo kerja atau mau kelur, inilah julukan untuk para karyawan lokal di Wabu Intan Jaya.

PT. Freeport masuk Eksplorasi dengan sebebas-bebasnya di atas Tanah, Hutan dan Sungai di Wabu Intan Jaya, ibarat Tanah dan Hutan Tanpa Tuan atau dalam bahasa Engros Tobati mengatakan “ Land and Forest Without a Master”. Segala kerusakan flora dan fauna  sampai detik ini belum dibayar. Akibat PT, Freeport merusak dan memusnahkan Alam dimana tempat-tempat perlindungan bagi hewan, tumbuhan dan tanaman masyarakat setempat di sapuh rata, maka semua makluk yang menghuni didalamnya menggungsi ketempat-tempat yang dapat hidup lebih baik dan aman.

Melihat semua pengalaman dan penderitaan itu apakah ada manusia yang menghuni wilayah itu,.?   
Apakah penghuni wilayah itu telah di “Telan Habis” oleh binatang buas PT. Freeport,.? Apakah penghuni wilayah itu ada,.? Kalau ada mengapa harus diam membisu. Ataukah Diam membisu,  karena Mendukung semua kegiatan yang dilakukan oleh PT. Freeport. Ataukah Diam Membisu karena “senang dan bangga untuk Mendukung” Agar Orang Pendatang  Membodohi dan  Mengguras tanah anda, hutan anda, air anda, pohon anda, rotan anda, kayu anda dan segala kekayaan milik anda,!!! Ataukah,.? malas tau dan nonton saja, karena mendukung orang pendatang mengambil semua kekayaan Alam-mu.

Sehingga harapan besar penulis sebagai, Ketua Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya, (KOMISI) bersama teman-teman, adik-adik dan semua orang yang peduli terhadap Masyarakat dan Alam Intan Jaya, merasa prihatin dan merasa sedih akan  bencana alam yang secara sistematis dan otomatis akan mengacam kelangsungan hidup masyarakat Intan Jaya. Sehingga kita musti lihat, berpikir, bekerja dan bertindak untuk menyelamatkan umat TUHAN yang menghuni wilayah Magataga hingga Mbulu-mbulu.  “Ingat Pengalaman adalah Guru, hal-hal yang sudah terjadi di Timika dan beberapa daerah lain menjadi contoh Nyata untuk kita melihat, berpikir, bekerja dan bertindak”.

Bertolak dari pengalaman PT. Freeport di Timika, maka kami Sebagai Penghuni Intan Jaya marilah kami 

“Sadar dan  memandang Tanah dan Alam sebagai Mama yang selalu memberikan Asi dan memandang manusia yang menghuni di dalam-nya sebagai manusia yang Utuh.  mKeutuhan sebagai manusia yang Utuh adalah Kerendahan Hati serta Keteladanan hidup yang Membebaskan, Meneguhkan dan Melayani sesama dengan penuh sabar, tenang, setia, saling menerima dan saling menghargai satu sama yang lain, serta bertindak untuk menjaga keutuhan hidup manusia dan alam Intan Jaya dari bahaya kepunahan dan kehancuran”.  

“Bertolak Dari Diri, Kembalilah Ke Jati Dirimu”

Budaya merupakan kebiasaan yang selalu dilakukan ulang-ulang disuatu daerah atau wilayah.  Budaya itu sudah ada sejak nenek moyang suatu suku bangsa diciptakan dan ditempatkan oleh Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Kuasa. Budaya menujukan suatu suku Bangsa disuatu derah atau wilayah.  Demikian pula dengan budaya suku Moni yang menunjukan suku bangsa Moni di Intan Jaya

Namun sangat disayangkan karena budaya-budaya yang BAIK, yang ada pada masyarakat Moni intan jaya   mulai terkikis dan punah dengan sendirinya dengan budaya lokal dari luar intan jaya .

Sehingga moralitas dan mentalitas sebagai anak adat yang dilahirkan dan dibesarkan dalam budaya Moni terkikis dengan sendirinya, Karena anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam Budaya Moni itu sendiri tidak melihat, menggali dan Menerapkan budayanya sendiri,  malah sebaliknya anak   Adat itu meniru dan menerapkan budaya lokal suku  Bangsa orang lain, yang mengantarnya  kejurang Hawa Nafsu (yaitu Wogo ge Ba Ajinggiya Naga seperti, he.ee,..hee,..hee,. yah,.. kami menyanyi pake bahasa moni, tapi Gaya seperti babi Rampas Tai itu, kami tidak perna lihat kalau orang tua kami menyanyi seperti gaya itu) gaya ini tidak bisa membuat dirinya tenang dan  Disusul dengan mempengaruhi  budaya melayu indonesi yang mengantarnya ke dunia kegelapan dan jurang maut hawa Nasfsu.

Hal  ini terutama dilihat dari sisih sosial budaya dan politik di Kabupaten Intan Jaya.  Hal Ini menunjukan  bahwa orang-orang yang tidak punya Budaya dan Jati Diri sebagai anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam adat dan  budaya Moni.

Budaya Moni selalu mengutamakan dan mengajarkan nilai-nilai luhur harga diri seseorang sebagai manusia yang Utuh.  Hal ini dilihat dari “belas kasihan” seseorang kepada seorang yang lain, seperti dalam perang, seorang musuh akan menyerahkan  tali busur dan anak panah kepihak lawan ketika tali busurnya putus atau anak panahnya habis. Walaupun dalam keadaan yang sangat berbahaya di medan perang budaya Moni mengajarkan“ KASIH”.

Kita tidak bisa meniru  budaya orang lain yang akhirnya membuat kita gila, gelisah, bingung, nafsu  dan mengantarkan kita ke dunia kegelapan dan jurang maut, hawa nafsu,  karena Tuhan sudah menempatkan tiap-tiap suku bangsa dengan budayanya atau kebiasaanya masing-masing yang menujukan karakter tiap-tiap suku bangsa itu.

“Budaya merupakan kebiasaan dan kebiasaan menujukan karakter suatu suku bangsa dalam melihat, berpikir dan bertindak   sesuai dengan kebiasaannya atau budayanya”. 
Hal Inilah yang dikatakan  “JATI DIRI” Sehingga kita tidak bisa memaksa budaya orang lain menjadi budaya kita.
Budaya Moni sudah ada sejak moyang kita sebelum adanya Agama dan adanya Pendidikan di Intan Jaya.   Budaya Moni mengajarkan “Jangan Mencuri (Mene Noa Sege Kiduame) jangan Bersinah (Tubaga Kidua Me) dan jangan Membunuh (Mene waga Kimapuame)”.

Hal Ini menujukan bahwa nilai-nilai Agama sudah ada walaupun Agama pada saat itu  belum masuk diwilayah intan jaya.  “Budaya ini terkikis habis-habisan dengan perkembangan jaman ini” yang mengutamakan korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang membudaya.  Korupsi, kolusi, nepotisme dan ambisi yang membudaya ini merupakan “budaya melayu indonesia”  yang sudah darah daging diberbagai kalangan.

Budaya Ini menujukan bahwa budaya suku bangsa orang lain yang “dipaksakan”   untuk menjadikan  budaya-nya, sehingga berbagai kalangan menjadi Gila, Binggung, Nafsu yang akhirnya membuat dirinya tidak bisa tenang.  Sehingga mengantar-nya kejurang Kegelapan dan Hawa Nafsu.

Peran budaya membawa ajaran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam tata etika politik dan perubahan sosial disuatu derah atau wilayah, apabila itu dilihat, ditekuni, diterjemakan dan diterapkan  dengan “Hati dan Kasih sesuai dengan Jati Diri Suku Bangsa Itu”.

Kembalilah  kepada  Jati Dirimu, yakni  “MIGANI”  yang artinya “Biasa-biasa” maksudnya Tidak Berlebihan,  jadi apa adanya, artinya sudah cukup dengan apa yang ada pada kita.  Kita tidak boleh Mencuri bagian dari orang lain atau Merampas Hak orang lain.  “MIGANI” inilah sesunggunya “Jati Diri Suku Bangsa MONI”.

Kembali kepada Jati Diri, bukan ajakan untuk menarik diri dan bersembunyi.  Kembali kepada Jati Diri dilakukan dalam rangka untuk dapat keluar menampilkan diri lebih bijaksana dalam mengikuti jalan Tuhan. Kembali ke jati diri agar dapat melangka lebih baik;  mundur sesaat untuk dapat melangka maju lebih bijak.  Kembalilah kepada jati diri. Mengapa kita harus melarikan diri dari jati diri kita untuk mencari setumpuk kesenangan yang membawa kita kejurang kegelapan dan hawah nafsu.

Seseorang yang benar-benar dapat menyelami “Kasih dan kebenaran” akanmengenal jati dirinya. 
Orang yang mengenal jati dirinya akan mengenal YAHWEH ELOHIM (Tuhan Allah) Yang punya kuasa atas langit dan bumi secara baik dan tulus.

Kembali kepada jati diri bukan sekedar ingin melarikan diri dari kenyataan rumit hidup, melainkan untuk memiliki cakrawala yang lebih luas agar dapat mengarahkan diri dalam langka hidup yang lebih baik dan benar,yaitu semakin memahami, mengerti, menerima, memperhatikan serta menerapkan apa yang terkandung dalam nilai-nilai  “MIGANI”  itu sendiri.

Amakaniee, Salam Perubahan……

Blog, Updated at: 04.58

0 komentar:

Posting Komentar

BERITA TERBARU

Komisi Somatua Intan Jaya. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts