Kleopas Sondegau (Foto: Dok Pribadi) |
Oleh : Fr.Kleopas Sondegau
Pengantar
Dalam tulisan ini saya membahas
Kristologi dalam kaitannya dengan realitas sosial politik yang terjadi di tanah
Papua Barat. Bertolak dari alasan ini, maka saya akan mengangkat persoalan
tentang realitas sosial politik yang dihadapi oleh Bangsa Papua Barat dengan
topik utamanya adalah: “Penderitaan Bangsa Papua Barat dan Relevansinya Dengan
Penderitaan Kristus”.
Dalam topik di atas saya akan
mengangkat beberapa poin penting yang berkaitan dengan situasi realitas sosial
politik yang kiranya menjadi akar atau pemicu adanya penderitaan bagi Bangsa
Papua Barat, yakni: Otonomi Khusus (OTSUS) sebuah malapetaka bagi Bangsa Papua
Barat, Pemekaran memecah belah persatuan dan kesatuan Bangsa Papua Barat,
Ketika Bangsa Papua Barat berhadapan dengan penindasan dan kekerasan dan
selanjutnya adalah Relevansinya dengan penderitaan Kristus. Sedangkan
Kesimpulan merupakan bagian akhir dari pembahasan ini. (Tulisan ini bertolak dari berbagai
sumber baik buku, artikel maupun media masa lainnya….selamat membaca
amakanieeeee)!!!!
Otsus Sebuah Malapetaka Bagi
Bangsa Papua Barat
Otonomi khusus dilihat sebagai
solusi final masalah Papua yang dirancang oleh Pemerintah Indonesia dan
beberapa orang terdidik Papua dengan mengeluarkan Undang-Undang nomor 21 Tahun
2001. Namun di dalam implementasinya tidak sesuai dengan urat nadi dan nafas
otonomi khusus itu sendiri. Di dalam implementasi sesungguhnya tidak berjalan
seperti apa yang diharapkan yaitu segala prioritas untuk kepentingan orang asli
Papua Barat. Undang-Undang Otonomi Khusus sebagai jalan untuk menyelesaikan
masalah tetapi Otsus itu sendiri telah menjadi masalah. Sulitnya ialah masalah
tidak pernah menyelesaikan masalah.
Perdasi dan Perdasus tidak ada
sampai berjalan 6 tahun sejak penerapan Otonomi Khusus dari tahun 2001,
sehingga sesungguhnya Pemerintah di daerah baik provinsi maupun Kabupaten Kota
dan lembaga Kultural MRP yang bekerja khusus untuk mendorong dan memperjuangkan
aspirasi dan hak-hak rakyat Papua pun kurang memberi kepuasan bagi rakyat
Papua. Lembaga yang mewakili orang asli Papua ini sudah tak berdaya lagi.
Pasal-pasal penting seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
dihancurkan. Jakarta hanya menyerahkan Undang-Undang-nya kepada Papua tetapi
kewenangannya dipegang dan dipermainkan oleh Pemerintah Indonesia. Sampai hari
ini menjadi tanda tanya terhadap pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2001, karena
pasal-pasal penting yang harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah Provinsi
(PERDASI) dan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) sebagai implementasi UU otsus
sesungguhnya tidak jelas. Dengan demikian akibatnya adalah implementasi atau
operasionalisasi dari pada UU itu tidak berjalan dengan baik hingga saat ini.
Yang terjadi di sini adalah pasal-pasal penting yang harus dijabarkan dalam
perdasus tidak berjalan dan tidak menghasilkan apa-apa sehingga terkesan adanya
unsur kesengajaan oleh pihak pemerintah agar pasal-pasal penting itu dibiarkan
begitu saja.
Dalam UU Otsus Nomor 21 tahun
2001 (pasal 2-ayat 2) mengatakan bahwa Provinsi Papua memiliki lambang daerah
sebagai panji kebesaran dan simbol cultural bagi kemegahan jati diri orang
Papua dalam bentuk bendera dan lagu daerah. Namun apa yang terjadi? Realitas
pernah menunjukkan bahwa noken-noken yang berlambang Bintang Kejora yang
dihasilkan oleh mama-mama Papua guna mencari nafkah pernah disita oleh aparat
TNI/POLRI karena dianggap tidak sepaham dengan kedaulan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Mereka tidak menyadari kalau lagu daerah, lambang
dan bendera daerah sudah diuraikan secara panjang lebar dan rinci oleh tim
asistensi Otsus Papua di hadapan pemerintah dan DPR RI di Jakarta sepanjang
tahun 2000-2001. Sungguh amat memprihatinkan karena selain alasan di atas,
kehidupan mama-mama Papua juga ikut terancam karena disebabkan oleh tindakan
aparat itu. Kalau dilihat dengan kritis maka jelaslah bahwa tindakan para
aparat tersebut menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap amanat undang-undang
Otsus yang ada. Maka saya dapat mengatakan bahwa, Makanya pikir dulu baru buat
jangan buat dulu baru pikir. Mentalitas aparat yang biadab seperti inilah yang
membuat masyarakat bangsa Papua Barat selalu hidup dalam berbagai penderitaan
hingga saat ini.
Dalam suatu kesempatan Ketua
Komisi F DPRD W. Watory pernah mengatakan, Otsus diterapkan di Papua karena
masyarakat kecewa dan protes atas ketidakadilan pemerintah dalam menerapkan
kebijakan ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya sejak Papua menjadi bagian
dari wilayah Indonesia tahun 1969 sampai sekarang. Selama jangka waktu itu
Papua hanya menjadi lahan eksploitasi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh sang
penguras yakni NKRI. Sementara rakyat dibiarkan tetap hidup miskin di atas
tanahnya sendiri. Sementara itu, Otsus juga dilihat sebagai peluang dan
sekaligus ancaman. Peluang hanya Gubernur dan Wakil Gubernur yang berasal dari
putra Papua sedangkan beberapa wilayah di pedalaman Papua khususnya di tingkat
Kabupaten dan kota terkesan hampir semua jabatan struktural diduduki oleh para
pejabat non-Papua sehingga hal ini menjadi ancaman serius bagi Rakyat Bangsa Papua
Barat. Dalam hal ini ada peluang yang sangat terbuka dan sangat dimungkinkan
untuk diduduki oleh pejabat non-Papua dan itu fakta yang sedang terjadi di
seluruh tanah Papua.
Pemekaran Memecah-Belah Satu
Kesatuan Bangsa Papua Barat
Konsep pemekaran yang sedang
menggema di seluruh tanah Papua adalah pola dan strategi yang dipakai oleh
Jakarta dengan tujuan untuk mempercepat rentang kendali yang selama ini terasa
sulit menjangkau pembangunan di seluruh pelosok Papua, sehingga memperpendek
arus pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Gagasan pemekaran itu merupakan
gagasan cemerlang bangsa Indonesia bagi bangsa Papua Barat. Tetapi kemudian
dampak dari pemekaran itu terhadap rakyat Papua Barat juga tidak kalah
dasyatnya terhadap kehidupan sosial yang dihadapi oleh rakyat pribumi di Papua
ini. Katakanlah dulu orang Papua hidup senasib, seperjuangan, sepaham sebagai
manusia berumpun Melanesia. Namun setelah adanya pemekaran apa yang terjadi?
Kini semua luntur hanya karena mengkotak-kotakan rakyat, tanah, hutan, laut
hingga membagi-bagi suku, golongan dan marga, sehingga mengakibatkan pola
berpikir pun menjadi sempit karena wilayahnya ikut dibagi-bagi. Lebih parah
lagi rakyat Papua mulai terpaku dalam berbagai kepentingan dan kedudukan yang hanya
memikirkan bagaimana mempunyai kedudukan, bagaimana menjadi kaya, bagaimana
menjadi orang yang hebat di dalam kotak-kotak yang sudah diciptakan oleh
Jakarta, dan seterusnya. Semuanya ini secara tidak langsung menghasilkan
berbagai persoalan yang merugikan rakyat Papua baik secara lahiriah maupun
batiniah.
Contoh konkretnya adalah
peristiwa peperangan yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Puncak yang
merupakan Kabupaten Pemekaran dari Kabupaten induk Puncak Jaya. Tak lupa juga
mengenai peristiwa berdarah yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Dogiyai
yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten induk Paniai. Kedua peristiwa
bentrok tersebut banyak memakan korban jiwa. Dan inilah kedua peristiwa yang
mewakili sekian banyak korban jiwa yang pernah terjadi di seluruh tanah Papua.
Berbagai bencana sedang terjadi
setelah pemekaran di Papua Barat. Konkretnya adalah tumbuhnya sukuisme,
margaisme, orang gunung cenderung tidak bisa kerja dalam kabupaten/kota di
pesisir pantai dan sebaliknya dari pesisir pantai tidak bisa kerja di
pegunungan. Mengapa? Karena mereka dianggap orang pendatang padahal mereka lupa
bahwa mereka adalah sesama bangsa rumpun Melanesia. Sama-sama berasal dari
Negeri Papua Barat, jangankan antara Papua pantai dengan Papua gunung karena fakta
telah membuktikan bahwa antar sesama kabupaten di pegunungan saja sudah mulai
mengkotak-kotak atau mengkelompok-kelompok sehingga antara kabupaten pemekaran
yang satu dengan kabupaten pemekaran yang lain terjadi persaingan yang kurang
sehat. Misalnya saja, dari kabupaten Intan Jaya tidak bisa menerima CPNS dari
orang yang berasal dari kabupaten Pegunungan Bintang dengan alasan CPNS
tersebut bukan berasal dari kabupaten Intan Jaya, dan seterusnya. Hal-hal
seperti ini secara tidak langsung dapat memupuk permusuhan antar sesama warga
pegunungan sendiri. Padahal yang diharapkan adalah hidup saling mencintai
antara satu dengan yang lain. Demikianlah akan muncul berbagai persoalan akibat
pemekaran-pemekaran yang saat-saat ini sedang terjadi di seluruh tanah Papua
ini.
Ketika Bangsa Papua Barat
Berhadapan Dengan Penindasan Dan Kekerasan
Penindasan dan kekerasan yang di
alami dan dirasakan oleh bangsa Papua Barat tidak hanya dipandang dari segi
fisik semata, tetapi juga lebih pada aspek non fisik yang berdampak pada
tekanan psikologis sosial politik, ekonomi dan budaya.
Berikut ini adalah salah satu
realitas yang sering terjadi di tanah Papua dengan tujuan menciptakan
kesempatan yang lebih efektif dan lebih cepat untuk menguasai orang Papua
dengan cara membeli dan menguasai tanah sehingga orang-orangnya disingkirkan
dari tanah leluhurnya sendiri. Berikut pendekatan yang dilakukan oleh para
kapitalis terhadap masyarakat Papua. Ketika seorang penguasa (pemerintah, kaum
pemodal/investor) hendak menguasai tanah yang dimiliki oleh masyarakat, maka ia
akan melakukan berbagai pendekatan/strategi untuk menarik perhatian sang
pemilik tanah tersebut dengan memberi berbagai bantuan berupa: beras, supermi,
minyak goreng, rokok dan seterusnya (memberi bukan karena belas kasihan tetapi
karena ada kepentingan untuk menguasai tanah). Cara seperti ini berlanjut terus
hingga relasi mereka sangat kuat. Maka pada suatu kesempatan pemodal ini akan
memberi duit dan langsung meminta sebagian tanahnya dengan alasan untuk
membangun hotel, supermarket, ruko dan sebagainya.
Dalam situasi seperti ini,
bagaimana mau menolak sementara pihak pemodal sudah banyak memberi apa yang
dimilikinya apalagi ditodong dengan uang dalam jumlah yang banyak. Jika tidak
memberi ia akan dianggap musuh yang harus dibinasakan dengan alasan tidak
membalas budi. Sehingga pada akhirnya sebagian tanah yang dijaga untuk masa
depan anak cucunya itu diserahkan kepada pihak pemodal sehingga lama-kelamaan
tanah itu dikuasai oleh pemodal dan secara tidak langsung pada saat yang sama
sang pemilik tanah itu berada dalam situasi terancam karena pada akhirnya toh
ia akan tersingkir secara perlahan-lahan dari tanah dan leluhurnya itu. Sungguh
amat memprihatinkan karena masyarakat sendiri tidak mampu menangkap maksud yang
terselubung di balik tindakan mulia namun sangat tidak becus itu. Ini adalah
salah satu fakta dari sekian banyak fakta yang terjadi di seluruh pelosok tanah
Papua.
Orang Papua berada dalam alam
penindasan dan kekerasan dalam masa 32 tahun ditambah lagi saat Orde Lama
masyarakat mengalami tekanan dan
penindasan yang luar biasa. Namun orang Papua tidak mempunyai daya
sehingga sulit untuk mengadakan perlawanan, dan satu hal yang amat
memprihatinkan adalah zaman demokratisasi ini pun rakyat Papua mencoba
menyampaikan aspirasi mereka untuk memisahkan diri dari bingkai NKRI pada tahun
2000 namun apa yang terjadi? Pemerintah
Indonesia berhasil memberikan Otsus kepada rakyat Papua agar tidak lagi
berteriak minta Merdeka. Otsus dilihat sebagai strategi Pemerintah Indonesia
dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Namun realitasnya apa? Rakyat
Papua masih berteriak meminta merdeka. Mengapa? Karena memang mereka tidak
merasakan hasil dari Otsus itu. Sekarang banyak orang Papua yang merasa Otsus
gagal dalam memberikan jaminan bagi hak-hak dasar hidup rakyat Papua. Apalagi
Otsus hanya dinikmati oleh tikus-tikus berdasi (kaum elit politik) saja
sehingga masyarakat tetap miskin di atas tanahnya yang kaya akan SDA itu.
Bertolak dari alasan di atas,
maka tidak mengherankan jika orang Papua masih berteriak: Otsus dikembalikan,
Papua Merdeka!!! Namun satu hal kongkrit yang sangat memprihatinkan lagi di era
demokrasi ini adalah ketika rakyat Papua berteriak meminta Merdeka, mereka
diberi stigma separatis oleh kaum militer dengan alasan tidak sehaluan dengan
bingkai NKRI. Kalau realitasnya demikian, maka pertanyaannya adalah apa itu
arti dari Demokrasi? Bukankah rakyat bebas menyampaikan aspirasinya sesuai
dengan amanat UUD 1945? Apakah kaum militer buta dengan isi dari UUD 1945 itu?
Pertanyaan- pertanyaan ini merupakan pergumulan yang terus-menerus dialami oleh
rakyat Papua hingga saat ini.
Merendahkan rakyat Papua dengan
sebutan separatis dan makar kemudian mengejar dan memburu rakyat yang tidak
berdosa, menjadi korban tahanan bahkan disiksa dan dibunuh yang berdampak pada
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak pernah sepi di bumi Cenderawasih ini.
Situasi dan kondisi hidup semacam ini tentu bukan satu-satunya jalan untuk
membungkam rakyat agar setia kepada negara dan bangsa. Di dunia manapun ketika
ditekan dan dibantai maka rakyat lebih rawan dan brutal menghadapi rezim yang
otoriter. Contoh kongkritnya adalah ketika masa kekuasaan rezim Soeharto yang
begitu kuat dan sulit digoyahkan oleh siapa pun, seolah tidak ada suatu
institusi atau masyarakat mengganggu kekuasaannya, namun ketika reformasi
bergulir di tahun 1998 kekuasaan rezim Soeharto itu akhirnya tumbang juga.
Relevansinya Dengan Penderitaan
Kristus
Penderitaan Kristus di kayu salib
bukanlah sebuah mite belaka melainkan sebuah peristiwa historis yang pernah
terjadi di Israel, maka seluruh pengikut-Nya diharapkan untuk jangan hanya
memandang salib itu dari perspektif religius saja tetapi juga diharapkan untuk
melihat dari perspektif realitas sosial yang benar-benar pernah terjadi.
Bertolak dari alasan ini, maka pada bagian ini saya akan memaparkan peristiwa
historis penderitaan Kristus tersebut secara lebih mendalam.
Sesudah Yesus dikhianati dengan
sebuah ciuman oleh Yudas, Ia ditangkap dan dibawa pergi seolah-olah penjahat
besar. Penangkapan Yesus yang tak bersalah adalah sesuai dengan nubuat
Perjanjian Lama mengenai cara Mesias dari Israel akan diperlakukan oleh
bangsa-Nya sendiri. Tiga detail lainnya dalam bagian ini mengemukakan bagaimana
tak berperhatiannya para murid Yesus terhadap apa yang terjadi pada diri-Nya.
Salah seorang dari mereka mengira dapat menghentikan kekerasan dengan kekerasan
(Mrk.14:47). Lainnya meninggalkan Yesus sendirian (Mrk. 14: 50). Bahkan anak
muda yang mengikuti, “tidak berpakaian apa-apa selain kain lenan”, melarikan
diri segera sesudah musuh Yesus mencoba menangkap dia (Mrk.14:51-52). Semua
rincian-rincian kisah di atas mau mengingatkan kita untuk mengetahui “bagaimana
semuanya terjadi”, tetapi juga untuk mendorong mereka bertanya pada diri
sendiri sejauh mana mereka akan bersama Yesus dan nilai-nilai injil dalam
situasi mereka yang sulit.
Apa yang dinamakan pengadilan
Yesus adalah penuh dengan tuduhan palsu melawan Dia. Menjawab
kesaksian-kesaksian demikian, Yesus diam dan tidak menjawab apa-apa. Tuduhan
imam besar muncul ketika “yang berdiam diri” mengakui bahwa Ia adalah Mesias,
Anak dari Yang Terpuji, yang akan duduk bersama Allah di surga, dan yang akan
datang ditengah-tengah awan-awan di langit sebagai hakim pada hari akhir.
Ironisnya bahwa tidak ada satu pun kesaksian palsu yang dapat membuktikan bahwa
Yesus bersalah (Mrk.14:55). Hanyalah ketika Ia mengatakan kebenaran mengenai
diri-Nya, maka Ia dihukum mati. (Mrk.14:62-64). Yesus tabah dalam menghadapi
pengadilan yang begitu merendahkan dan cercaan serta cemoohan yang
menyertainya.
Betapa takutnya para imam Yahudi
sehingga dapat bekerja sama dengan pejabat Roma yakni Pilatus dalam menghukum
Yesus. Imam Besar sebelumnya telah bertanya kepada Yesus, dalam istilah Yahudi,
apakah Ia adalah Mesias, Anak dari Yang Terpuji? Sekarang orang Romawi itu bertanya,
dengan bahasa politik: apakah Yesus raja orang Yahudi? (15:2). Yesus menerima
sebutan yang diberikan kepada-Nya oleh Pilatus, yang sama dengan mengatakan
“bersalah” atas tuduhan mengadakan pemberontakan. (Tidak ada raja dalam wilayah
Romawi selain kaisar!). Meskipun demikian, Pilatus mengerti tuduhan-tuduhan
terhadap Yesus. Pilatus memang mengetahui, bahwa imam-imam kepala telah
menyerahkan Yesus karena dengki. Ia berusaha untuk membebaskan Yesus, bukannya
Barabas, tetapi para imam mempengaruhi orang banyak untuk meminta supaya
Barabas dibebaskan. Demi kedudukannya, akhirnya Pilatus mengabulkan permintaan
orang banyak yang meminta kematian Yesus: Salibkanlah Dia! Dengan berbuat
demikian, Pilatus memainkan peranannya secara pengecut dalam drama injil.
Meskipun yakin bahwa Yesus tidak berbuat salah, ia tunduk pada tekanan dan
menyerahkan Dia supaya dicambuk dan disalibkan. Maka, Yesus mulai minum dari
“cawan” yang adalah kesengsaraan itu sendiri.
Sekali lagi, sesudah “pengadilan”
yang menunjukkan betapa tidak bersalahnya Yesus, terjadilah peristiwa yang amat
mengerikan. Sesudah Yesus dicambuk, Ia diberi pakaian “ungu” dan “dimahkotai”
duri oleh para serdadu Roma yang mengejek dengan amat keji sambil menyebut “Dia
raja orang Yahudi (Mrk.15:16-20)”. Kendati Ia menerima banyak penghinaan, Yesus
tetap diam. Hal ini mau menunjukkan kepada kita tentang pemenuhan nubuat Yesaya
mengenai Mesias: Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul
aku…..aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi
(Yes.50:6). Puncak penderitaan Yesus terjadi dalam peristiwa penyaliban. Di
atas kayu salib itulah, Yesus digantung, dicemooh, dan diejek oleh orang-orang
yang mau Ia selamatkan. Sungguh amat menyedihkan. Salah satu bukti cemoohannya
adalah “Baiklah Mesias, Raja Israel itu, turun dari salib itu, supaya kita
lihat dan percaya”. Ini adalah salah satu dari sekian cemoohan yang dilontarkan
oleh orang-orang Yahudi kepada Yesus.
Dalam kematian-Nya, Yesus dilihat
sebagai Allah. Mengapa? Karena justru dalam kegelapan kematian Yesuslah umat
manusia melihat sinar terang. Di situlah, di kaki salib, mereka mendengar
seruan Yesus: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (15:34).
Mendengar seruan itu, orang banyak mengira bahwa Yesus berseru kepada Elia untuk
minta bantuan sehingga penghinaan pun terus mengalir: “Baiklah kita tunggu dan
melihat apakah Elia akan datang untuk
menyelamatkan-Nya”. Sungguh amat memprihatinkan. Setelah berseru
demikian, Yesus menyerahkan nyawa!!!!
Berdasarkan pembahasan
masalah-masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Otonomi Khusus merupakan
suatu masalah besar bagi bangsa Papua Barat karena diberikan status Otsus
dengan batas waktu pelaksanaan selama 25 tahun. Sekarang kurang 14 tahun lagi masa
Otsus akan berakhir. Pertanyaan setelah otonomi khusus apa agenda berikutnya,
merupakan pertanyaan yang amat fundamen karena dalam ketentuan Otonomi Khusus
tidak ada jaminan yang jelas mengenai “setelah Otsus berakhir, Kemanakah nasib
Bangsa Papua nanti?” UU No 21 tahun 2001 tidak menjanjikan bahwa setelah
otonomi khusus berakhir jaminan hak-hak politik, hak penerimaan dana Otsus
serta hak-hak lain yang mendasar tidak ditentukan. Otonomi Khusus tidak pernah
merekomendasikan bahwa hak-hak politik orang Papua tetap diprioritaskan.
Sungguh amat memprihatinkan. Maka pertanyaan selanjutnya adalah Ada apa di
balik semua itu? Ini adalah bagian dari kepentingan politik yang terselubung di
balik kerangka Otonomi Khusus itu. Semua ini akan menjadi bumerang bagi bangsa
Papua Barat dan akan berujung pada penderitaan dan penindasan yang tiada
ujungnya.
Penindasan dan kekerasan
merupakan sebuah metode penjajahan yang dilakukan oleh kaum yang kuat terhadap
kaum yang dipandang lebih lemah dari berbagai aspek kehidupan sosial
masyarakat. Penindasan tidak pernah terjadi dari kaum lemah menindas kaum yang
kuat. Penindasan dan kekerasan yang di alami dan dirasakan oleh bangsa Papua
Barat tidak hanya dipandang dari segi fisik semata, tetapi juga lebih pada
aspek non fisik yang berdampak pada tekanan psikologis sosial politik, ekonomi
dan budaya. Kondisi rakyat Papua asli berada pada kondisi penindasan dan
kekerasan yang semakin parah sehingga mengakibatkan rakyat tidak mempunyai daya
untuk mengadakan perlawanan dengan proses penindasan dan kekerasan yang
dihadapi dalam masa pendudukan Indonesia di wilayah Papua Barat. Realitas
penindasan dan kekerasan yang dihadapi oleh rakyat Papua boleh dikatakan unik
karena telah dibungkus secara prosedural dan legal, sehingga sesungguhnya
rakyat yang sedang ditindas sulit menangkap situasi realitas sosial yang
terjadi dan belum lagi kalau dia tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisis
metode sosial politik yang sedang berkembang itu.
Merendahkan harkat dan martabat
rakyat Papua dengan sebutan Separatis dan Makar kemudian mengejar dan memburu
rakyat yang tidak berdosa, menjadi korban tahanan bahkan disiksa dan dibunuh
yang berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak pernah sepi di
bumi Cenderawasih ini. Pertanyaannya mengapa demikian? Jawabannya adalah karena
ada kepentingan terselubung di balik segala penindasan dan kekerasan itu.
Kepentingan Indonesia, Ras Melayu di tanahnya orang Melanesia ini ada empat
kepentingan pokok yang merupakan kebijakan nasional, yaitu: kepentingan
ekonomi, kepentingan politik, kepentingan keamanan dan kepentingan pemusnahan
etnis Melanesia. Karena itu, tidaklah heran kalau terjadi
pemekaran-pemekaran yang akhir-akhir ini
sedang menggema di seluruh tanah Papua.
Hal yang serupa juga terjadi pada
masa Yesus di mana kepentingan sosial politik bangsa Romawi terselubung di
balik penderitaan dan kematian Kristus itu. Penderitaan Kristus di kayu Salib
merupakan kekejian bangsa-Nya sendiri yakni Bangsa Yahudi. Namun satu hal yang
tidak boleh dilupakan adalah penderitaan Kristus yang berujung pada kematian
tersebut merupakan salah satu strategi Bangsa Romawi demi kepentingan politik
mereka. Bangsa Roma memperalat bangsa Yahudi untuk membinasakan Yesus sehingga
sampai saat ini pun umat Kristen di seluruh dunia masih mengkambing-hitamkan
bangsa Yahudi sebagai aktor di balik pembunuhan Yesus itu. Padahal bangsa
Romawi-lah yang menjadi dalangnya. Di sini penguasa Roma menuduh Yesus
menghasut orang untuk melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan penguasa Roma.
Sementara itu, para pemimpin agama menganggap perbuatan-Nya sebagai penghujatan
terhadap Allah dan menganggap bahwa Yesus sedang menggerakkan orang Yahudi
untuk menentang hukum Yahudi. Namun demikian, banyak rakyat biasa yang
mendukung Yesus sampai pada kematian-Nya. Dengan demikian, penderitaan dan
kematian Kristus menjadi satu-satunya jalan bagi bangsa Roma khususnya penguasa
Roma dalam menarik simpati rakyat agar tetap eksis dalam kedudukannya. Dengan
demikian, penderitaan Kristus di kayu salib merupakan kekejian bangsa Romawi
dan Bangsa Yahudi.
Penulis adalah Mahasiswa pada
Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi “Fajar Timur” (STFT-FT), Abepura-Jayapura, Papua!!!
0 komentar:
Posting Komentar