KOMISI Somatua Intan Jaya

Komunitas Independent Somatua Intan Jaya adalah sebuah wadah yang lahir dari kegelisahan hati dan pergumulan mahasiswa dan pelajar Intan Jaya yang ada di kota study Jayapura untuk memproteksi manusia dan alam yang ada di kabupaten ntan jaya dan secara umum di Papua.

Penderitaan Bangsa Papua Barat dan Relevansinya Dengan Penderitaan Kristus

Posted by KOMISI SOMATUA on Selasa, 22 Januari 2013


Kleopas Sondegau (Foto: Dok Pribadi)
 Oleh : Fr.Kleopas Sondegau

Pengantar

Dalam tulisan ini saya membahas Kristologi dalam kaitannya dengan realitas sosial politik yang terjadi di tanah Papua Barat. Bertolak dari alasan ini, maka saya akan mengangkat persoalan tentang realitas sosial politik yang dihadapi oleh Bangsa Papua Barat dengan topik utamanya adalah: “Penderitaan Bangsa Papua Barat dan Relevansinya Dengan Penderitaan Kristus”.  

Dalam topik di atas saya akan mengangkat beberapa poin penting yang berkaitan dengan situasi realitas sosial politik yang kiranya menjadi akar atau pemicu adanya penderitaan bagi Bangsa Papua Barat, yakni: Otonomi Khusus (OTSUS) sebuah malapetaka bagi Bangsa Papua Barat, Pemekaran memecah belah persatuan dan kesatuan Bangsa Papua Barat, Ketika Bangsa Papua Barat berhadapan dengan penindasan dan kekerasan dan selanjutnya adalah Relevansinya dengan penderitaan Kristus. Sedangkan Kesimpulan merupakan bagian akhir dari pembahasan  ini. (Tulisan ini bertolak dari berbagai sumber baik buku, artikel maupun media masa lainnya….selamat membaca amakanieeeee)!!!!

Otsus Sebuah Malapetaka Bagi Bangsa Papua Barat

Otonomi khusus dilihat sebagai solusi final masalah Papua yang dirancang oleh Pemerintah Indonesia dan beberapa orang terdidik Papua dengan mengeluarkan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001. Namun di dalam implementasinya tidak sesuai dengan urat nadi dan nafas otonomi khusus itu sendiri. Di dalam implementasi sesungguhnya tidak berjalan seperti apa yang diharapkan yaitu segala prioritas untuk kepentingan orang asli Papua Barat. Undang-Undang Otonomi Khusus sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah tetapi Otsus itu sendiri telah menjadi masalah. Sulitnya ialah masalah tidak pernah menyelesaikan masalah.

Perdasi dan Perdasus tidak ada sampai berjalan 6 tahun sejak penerapan Otonomi Khusus dari tahun 2001, sehingga sesungguhnya Pemerintah di daerah baik provinsi maupun Kabupaten Kota dan lembaga Kultural MRP yang bekerja khusus untuk mendorong dan memperjuangkan aspirasi dan hak-hak rakyat Papua pun kurang memberi kepuasan bagi rakyat Papua. Lembaga yang mewakili orang asli Papua ini sudah tak berdaya lagi. Pasal-pasal penting seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dihancurkan. Jakarta hanya menyerahkan Undang-Undang-nya kepada Papua tetapi kewenangannya dipegang dan dipermainkan oleh Pemerintah Indonesia. Sampai hari ini menjadi tanda tanya terhadap pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2001, karena pasal-pasal penting yang harus dijabarkan dalam Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI) dan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) sebagai implementasi UU otsus sesungguhnya tidak jelas. Dengan demikian akibatnya adalah implementasi atau operasionalisasi dari pada UU itu tidak berjalan dengan baik hingga saat ini. Yang terjadi di sini adalah pasal-pasal penting yang harus dijabarkan dalam perdasus tidak berjalan dan tidak menghasilkan apa-apa sehingga terkesan adanya unsur kesengajaan oleh pihak pemerintah agar pasal-pasal penting itu dibiarkan begitu saja.

Dalam UU Otsus Nomor 21 tahun 2001 (pasal 2-ayat 2) mengatakan bahwa Provinsi Papua memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol cultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera dan lagu daerah. Namun apa yang terjadi? Realitas pernah menunjukkan bahwa noken-noken yang berlambang Bintang Kejora yang dihasilkan oleh mama-mama Papua guna mencari nafkah pernah disita oleh aparat TNI/POLRI karena dianggap tidak sepaham dengan kedaulan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka tidak menyadari kalau lagu daerah, lambang dan bendera daerah sudah diuraikan secara panjang lebar dan rinci oleh tim asistensi Otsus Papua di hadapan pemerintah dan DPR RI di Jakarta sepanjang tahun 2000-2001. Sungguh amat memprihatinkan karena selain alasan di atas, kehidupan mama-mama Papua juga ikut terancam karena disebabkan oleh tindakan aparat itu. Kalau dilihat dengan kritis maka jelaslah bahwa tindakan para aparat tersebut menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap amanat undang-undang Otsus yang ada. Maka saya dapat mengatakan bahwa, Makanya pikir dulu baru buat jangan buat dulu baru pikir. Mentalitas aparat yang biadab seperti inilah yang membuat masyarakat bangsa Papua Barat selalu hidup dalam berbagai penderitaan hingga saat ini.

Dalam suatu kesempatan Ketua Komisi F DPRD W. Watory pernah mengatakan, Otsus diterapkan di Papua karena masyarakat kecewa dan protes atas ketidakadilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya sejak Papua menjadi bagian dari wilayah Indonesia tahun 1969 sampai sekarang. Selama jangka waktu itu Papua hanya menjadi lahan eksploitasi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh sang penguras yakni NKRI. Sementara rakyat dibiarkan tetap hidup miskin di atas tanahnya sendiri. Sementara itu, Otsus juga dilihat sebagai peluang dan sekaligus ancaman. Peluang hanya Gubernur dan Wakil Gubernur yang berasal dari putra Papua sedangkan beberapa wilayah di pedalaman Papua khususnya di tingkat Kabupaten dan kota terkesan hampir semua jabatan struktural diduduki oleh para pejabat non-Papua sehingga hal ini menjadi ancaman serius bagi Rakyat Bangsa Papua Barat. Dalam hal ini ada peluang yang sangat terbuka dan sangat dimungkinkan untuk diduduki oleh pejabat non-Papua dan itu fakta yang sedang terjadi di seluruh tanah Papua.

Pemekaran Memecah-Belah Satu Kesatuan Bangsa Papua Barat

Konsep pemekaran yang sedang menggema di seluruh tanah Papua adalah pola dan strategi yang dipakai oleh Jakarta dengan tujuan untuk mempercepat rentang kendali yang selama ini terasa sulit menjangkau pembangunan di seluruh pelosok Papua, sehingga memperpendek arus pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Gagasan pemekaran itu merupakan gagasan cemerlang bangsa Indonesia bagi bangsa Papua Barat. Tetapi kemudian dampak dari pemekaran itu terhadap rakyat Papua Barat juga tidak kalah dasyatnya terhadap kehidupan sosial yang dihadapi oleh rakyat pribumi di Papua ini. Katakanlah dulu orang Papua hidup senasib, seperjuangan, sepaham sebagai manusia berumpun Melanesia. Namun setelah adanya pemekaran apa yang terjadi? Kini semua luntur hanya karena mengkotak-kotakan rakyat, tanah, hutan, laut hingga membagi-bagi suku, golongan dan marga, sehingga mengakibatkan pola berpikir pun menjadi sempit karena wilayahnya ikut dibagi-bagi. Lebih parah lagi rakyat Papua mulai terpaku dalam berbagai kepentingan dan kedudukan yang hanya memikirkan bagaimana mempunyai kedudukan, bagaimana menjadi kaya, bagaimana menjadi orang yang hebat di dalam kotak-kotak yang sudah diciptakan oleh Jakarta, dan seterusnya. Semuanya ini secara tidak langsung menghasilkan berbagai persoalan yang merugikan rakyat Papua baik secara lahiriah maupun batiniah.

Contoh konkretnya adalah peristiwa peperangan yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Puncak yang merupakan Kabupaten Pemekaran dari Kabupaten induk Puncak Jaya. Tak lupa juga mengenai peristiwa berdarah yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Dogiyai yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten induk Paniai. Kedua peristiwa bentrok tersebut banyak memakan korban jiwa. Dan inilah kedua peristiwa yang mewakili sekian banyak korban jiwa yang pernah terjadi di seluruh tanah Papua.

Berbagai bencana sedang terjadi setelah pemekaran di Papua Barat. Konkretnya adalah tumbuhnya sukuisme, margaisme, orang gunung cenderung tidak bisa kerja dalam kabupaten/kota di pesisir pantai dan sebaliknya dari pesisir pantai tidak bisa kerja di pegunungan. Mengapa? Karena mereka dianggap orang pendatang padahal mereka lupa bahwa mereka adalah sesama bangsa rumpun Melanesia. Sama-sama berasal dari Negeri Papua Barat, jangankan antara Papua pantai dengan Papua gunung karena fakta telah membuktikan bahwa antar sesama kabupaten di pegunungan saja sudah mulai mengkotak-kotak atau mengkelompok-kelompok sehingga antara kabupaten pemekaran yang satu dengan kabupaten pemekaran yang lain terjadi persaingan yang kurang sehat. Misalnya saja, dari kabupaten Intan Jaya tidak bisa menerima CPNS dari orang yang berasal dari kabupaten Pegunungan Bintang dengan alasan CPNS tersebut bukan berasal dari kabupaten Intan Jaya, dan seterusnya. Hal-hal seperti ini secara tidak langsung dapat memupuk permusuhan antar sesama warga pegunungan sendiri. Padahal yang diharapkan adalah hidup saling mencintai antara satu dengan yang lain. Demikianlah akan muncul berbagai persoalan akibat pemekaran-pemekaran yang saat-saat ini sedang terjadi di seluruh tanah Papua ini.

Ketika Bangsa Papua Barat Berhadapan Dengan Penindasan Dan Kekerasan

Penindasan dan kekerasan yang di alami dan dirasakan oleh bangsa Papua Barat tidak hanya dipandang dari segi fisik semata, tetapi juga lebih pada aspek non fisik yang berdampak pada tekanan psikologis sosial politik, ekonomi dan budaya.

Berikut ini adalah salah satu realitas yang sering terjadi di tanah Papua dengan tujuan menciptakan kesempatan yang lebih efektif dan lebih cepat untuk menguasai orang Papua dengan cara membeli dan menguasai tanah sehingga orang-orangnya disingkirkan dari tanah leluhurnya sendiri. Berikut pendekatan yang dilakukan oleh para kapitalis terhadap masyarakat Papua. Ketika seorang penguasa (pemerintah, kaum pemodal/investor) hendak menguasai tanah yang dimiliki oleh masyarakat, maka ia akan melakukan berbagai pendekatan/strategi untuk menarik perhatian sang pemilik tanah tersebut dengan memberi berbagai bantuan berupa: beras, supermi, minyak goreng, rokok dan seterusnya (memberi bukan karena belas kasihan tetapi karena ada kepentingan untuk menguasai tanah). Cara seperti ini berlanjut terus hingga relasi mereka sangat kuat. Maka pada suatu kesempatan pemodal ini akan memberi duit dan langsung meminta sebagian tanahnya dengan alasan untuk membangun hotel, supermarket, ruko dan sebagainya. 

Dalam situasi seperti ini, bagaimana mau menolak sementara pihak pemodal sudah banyak memberi apa yang dimilikinya apalagi ditodong dengan uang dalam jumlah yang banyak. Jika tidak memberi ia akan dianggap musuh yang harus dibinasakan dengan alasan tidak membalas budi. Sehingga pada akhirnya sebagian tanah yang dijaga untuk masa depan anak cucunya itu diserahkan kepada pihak pemodal sehingga lama-kelamaan tanah itu dikuasai oleh pemodal dan secara tidak langsung pada saat yang sama sang pemilik tanah itu berada dalam situasi terancam karena pada akhirnya toh ia akan tersingkir secara perlahan-lahan dari tanah dan leluhurnya itu. Sungguh amat memprihatinkan karena masyarakat sendiri tidak mampu menangkap maksud yang terselubung di balik tindakan mulia namun sangat tidak becus itu. Ini adalah salah satu fakta dari sekian banyak fakta yang terjadi di seluruh pelosok tanah Papua.

Orang Papua berada dalam alam penindasan dan kekerasan dalam masa 32 tahun ditambah lagi saat Orde Lama masyarakat mengalami tekanan dan  penindasan yang luar biasa. Namun orang Papua tidak mempunyai daya sehingga sulit untuk mengadakan perlawanan, dan satu hal yang amat memprihatinkan adalah zaman demokratisasi ini pun rakyat Papua mencoba menyampaikan aspirasi mereka untuk memisahkan diri dari bingkai NKRI pada tahun 2000 namun apa yang terjadi?  Pemerintah Indonesia berhasil memberikan Otsus kepada rakyat Papua agar tidak lagi berteriak minta Merdeka. Otsus dilihat sebagai strategi Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Namun realitasnya apa? Rakyat Papua masih berteriak meminta merdeka. Mengapa? Karena memang mereka tidak merasakan hasil dari Otsus itu. Sekarang banyak orang Papua yang merasa Otsus gagal dalam memberikan jaminan bagi hak-hak dasar hidup rakyat Papua. Apalagi Otsus hanya dinikmati oleh tikus-tikus berdasi (kaum elit politik) saja sehingga masyarakat tetap miskin di atas tanahnya yang kaya akan SDA itu.

Bertolak dari alasan di atas, maka tidak mengherankan jika orang Papua masih berteriak: Otsus dikembalikan, Papua Merdeka!!! Namun satu hal kongkrit yang sangat memprihatinkan lagi di era demokrasi ini adalah ketika rakyat Papua berteriak meminta Merdeka, mereka diberi stigma separatis oleh kaum militer dengan alasan tidak sehaluan dengan bingkai NKRI. Kalau realitasnya demikian, maka pertanyaannya adalah apa itu arti dari Demokrasi? Bukankah rakyat bebas menyampaikan aspirasinya sesuai dengan amanat UUD 1945? Apakah kaum militer buta dengan isi dari UUD 1945 itu? Pertanyaan- pertanyaan ini merupakan pergumulan yang terus-menerus dialami oleh rakyat Papua hingga saat ini.

Merendahkan rakyat Papua dengan sebutan separatis dan makar kemudian mengejar dan memburu rakyat yang tidak berdosa, menjadi korban tahanan bahkan disiksa dan dibunuh yang berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak pernah sepi di bumi Cenderawasih ini. Situasi dan kondisi hidup semacam ini tentu bukan satu-satunya jalan untuk membungkam rakyat agar setia kepada negara dan bangsa. Di dunia manapun ketika ditekan dan dibantai maka rakyat lebih rawan dan brutal menghadapi rezim yang otoriter. Contoh kongkritnya adalah ketika masa kekuasaan rezim Soeharto yang begitu kuat dan sulit digoyahkan oleh siapa pun, seolah tidak ada suatu institusi atau masyarakat mengganggu kekuasaannya, namun ketika reformasi bergulir di tahun 1998 kekuasaan rezim Soeharto itu akhirnya tumbang juga.

Relevansinya Dengan Penderitaan Kristus

Penderitaan Kristus di kayu salib bukanlah sebuah mite belaka melainkan sebuah peristiwa historis yang pernah terjadi di Israel, maka seluruh pengikut-Nya diharapkan untuk jangan hanya memandang salib itu dari perspektif religius saja tetapi juga diharapkan untuk melihat dari perspektif realitas sosial yang benar-benar pernah terjadi. Bertolak dari alasan ini, maka pada bagian ini saya akan memaparkan peristiwa historis penderitaan Kristus tersebut secara lebih mendalam.

Sesudah Yesus dikhianati dengan sebuah ciuman oleh Yudas, Ia ditangkap dan dibawa pergi seolah-olah penjahat besar. Penangkapan Yesus yang tak bersalah adalah sesuai dengan nubuat Perjanjian Lama mengenai cara Mesias dari Israel akan diperlakukan oleh bangsa-Nya sendiri. Tiga detail lainnya dalam bagian ini mengemukakan bagaimana tak berperhatiannya para murid Yesus terhadap apa yang terjadi pada diri-Nya. Salah seorang dari mereka mengira dapat menghentikan kekerasan dengan kekerasan (Mrk.14:47). Lainnya meninggalkan Yesus sendirian (Mrk. 14: 50). Bahkan anak muda yang mengikuti, “tidak berpakaian apa-apa selain kain lenan”, melarikan diri segera sesudah musuh Yesus mencoba menangkap dia (Mrk.14:51-52). Semua rincian-rincian kisah di atas mau mengingatkan kita untuk mengetahui “bagaimana semuanya terjadi”, tetapi juga untuk mendorong mereka bertanya pada diri sendiri sejauh mana mereka akan bersama Yesus dan nilai-nilai injil dalam situasi mereka yang sulit.

Apa yang dinamakan pengadilan Yesus adalah penuh dengan tuduhan palsu melawan Dia. Menjawab kesaksian-kesaksian demikian, Yesus diam dan tidak menjawab apa-apa. Tuduhan imam besar muncul ketika “yang berdiam diri” mengakui bahwa Ia adalah Mesias, Anak dari Yang Terpuji, yang akan duduk bersama Allah di surga, dan yang akan datang ditengah-tengah awan-awan di langit sebagai hakim pada hari akhir. Ironisnya bahwa tidak ada satu pun kesaksian palsu yang dapat membuktikan bahwa Yesus bersalah (Mrk.14:55). Hanyalah ketika Ia mengatakan kebenaran mengenai diri-Nya, maka Ia dihukum mati. (Mrk.14:62-64). Yesus tabah dalam menghadapi pengadilan yang begitu merendahkan dan cercaan serta cemoohan yang menyertainya.

Betapa takutnya para imam Yahudi sehingga dapat bekerja sama dengan pejabat Roma yakni Pilatus dalam menghukum Yesus. Imam Besar sebelumnya telah bertanya kepada Yesus, dalam istilah Yahudi, apakah Ia adalah Mesias, Anak dari Yang Terpuji? Sekarang orang Romawi itu bertanya, dengan bahasa politik: apakah Yesus raja orang Yahudi? (15:2). Yesus menerima sebutan yang diberikan kepada-Nya oleh Pilatus, yang sama dengan mengatakan “bersalah” atas tuduhan mengadakan pemberontakan. (Tidak ada raja dalam wilayah Romawi selain kaisar!). Meskipun demikian, Pilatus mengerti tuduhan-tuduhan terhadap Yesus. Pilatus memang mengetahui, bahwa imam-imam kepala telah menyerahkan Yesus karena dengki. Ia berusaha untuk membebaskan Yesus, bukannya Barabas, tetapi para imam mempengaruhi orang banyak untuk meminta supaya Barabas dibebaskan. Demi kedudukannya, akhirnya Pilatus mengabulkan permintaan orang banyak yang meminta kematian Yesus: Salibkanlah Dia! Dengan berbuat demikian, Pilatus memainkan peranannya secara pengecut dalam drama injil. Meskipun yakin bahwa Yesus tidak berbuat salah, ia tunduk pada tekanan dan menyerahkan Dia supaya dicambuk dan disalibkan. Maka, Yesus mulai minum dari “cawan” yang adalah kesengsaraan itu sendiri.

Sekali lagi, sesudah “pengadilan” yang menunjukkan betapa tidak bersalahnya Yesus, terjadilah peristiwa yang amat mengerikan. Sesudah Yesus dicambuk, Ia diberi pakaian “ungu” dan “dimahkotai” duri oleh para serdadu Roma yang mengejek dengan amat keji sambil menyebut “Dia raja orang Yahudi (Mrk.15:16-20)”. Kendati Ia menerima banyak penghinaan, Yesus tetap diam. Hal ini mau menunjukkan kepada kita tentang pemenuhan nubuat Yesaya mengenai Mesias: Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku…..aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi (Yes.50:6). Puncak penderitaan Yesus terjadi dalam peristiwa penyaliban. Di atas kayu salib itulah, Yesus digantung, dicemooh, dan diejek oleh orang-orang yang mau Ia selamatkan. Sungguh amat menyedihkan. Salah satu bukti cemoohannya adalah “Baiklah Mesias, Raja Israel itu, turun dari salib itu, supaya kita lihat dan percaya”. Ini adalah salah satu dari sekian cemoohan yang dilontarkan oleh orang-orang Yahudi kepada Yesus.

Dalam kematian-Nya, Yesus dilihat sebagai Allah. Mengapa? Karena justru dalam kegelapan kematian Yesuslah umat manusia melihat sinar terang. Di situlah, di kaki salib, mereka mendengar seruan Yesus: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (15:34). Mendengar seruan itu, orang banyak mengira bahwa Yesus berseru kepada Elia untuk minta bantuan sehingga penghinaan pun terus mengalir: “Baiklah kita tunggu dan melihat apakah Elia akan datang untuk  menyelamatkan-Nya”. Sungguh amat memprihatinkan. Setelah berseru demikian, Yesus menyerahkan nyawa!!!!

Berdasarkan pembahasan masalah-masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Otonomi Khusus merupakan suatu masalah besar bagi bangsa Papua Barat karena diberikan status Otsus dengan batas waktu pelaksanaan selama 25 tahun. Sekarang kurang 14 tahun lagi masa Otsus akan berakhir. Pertanyaan setelah otonomi khusus apa agenda berikutnya, merupakan pertanyaan yang amat fundamen karena dalam ketentuan Otonomi Khusus tidak ada jaminan yang jelas mengenai “setelah Otsus berakhir, Kemanakah nasib Bangsa Papua nanti?” UU No 21 tahun 2001 tidak menjanjikan bahwa setelah otonomi khusus berakhir jaminan hak-hak politik, hak penerimaan dana Otsus serta hak-hak lain yang mendasar tidak ditentukan. Otonomi Khusus tidak pernah merekomendasikan bahwa hak-hak politik orang Papua tetap diprioritaskan. Sungguh amat memprihatinkan. Maka pertanyaan selanjutnya adalah Ada apa di balik semua itu? Ini adalah bagian dari kepentingan politik yang terselubung di balik kerangka Otonomi Khusus itu. Semua ini akan menjadi bumerang bagi bangsa Papua Barat dan akan berujung pada penderitaan dan penindasan yang tiada ujungnya.

Penindasan dan kekerasan merupakan sebuah metode penjajahan yang dilakukan oleh kaum yang kuat terhadap kaum yang dipandang lebih lemah dari berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat. Penindasan tidak pernah terjadi dari kaum lemah menindas kaum yang kuat. Penindasan dan kekerasan yang di alami dan dirasakan oleh bangsa Papua Barat tidak hanya dipandang dari segi fisik semata, tetapi juga lebih pada aspek non fisik yang berdampak pada tekanan psikologis sosial politik, ekonomi dan budaya. Kondisi rakyat Papua asli berada pada kondisi penindasan dan kekerasan yang semakin parah sehingga mengakibatkan rakyat tidak mempunyai daya untuk mengadakan perlawanan dengan proses penindasan dan kekerasan yang dihadapi dalam masa pendudukan Indonesia di wilayah Papua Barat. Realitas penindasan dan kekerasan yang dihadapi oleh rakyat Papua boleh dikatakan unik karena telah dibungkus secara prosedural dan legal, sehingga sesungguhnya rakyat yang sedang ditindas sulit menangkap situasi realitas sosial yang terjadi dan belum lagi kalau dia tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisis metode sosial politik yang sedang berkembang itu.

Merendahkan harkat dan martabat rakyat Papua dengan sebutan Separatis dan Makar kemudian mengejar dan memburu rakyat yang tidak berdosa, menjadi korban tahanan bahkan disiksa dan dibunuh yang berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak pernah sepi di bumi Cenderawasih ini. Pertanyaannya mengapa demikian? Jawabannya adalah karena ada kepentingan terselubung di balik segala penindasan dan kekerasan itu. Kepentingan Indonesia, Ras Melayu di tanahnya orang Melanesia ini ada empat kepentingan pokok yang merupakan kebijakan nasional, yaitu: kepentingan ekonomi, kepentingan politik, kepentingan keamanan dan kepentingan pemusnahan etnis Melanesia. Karena itu, tidaklah heran kalau terjadi pemekaran-pemekaran  yang akhir-akhir ini sedang menggema di seluruh tanah Papua.

Hal yang serupa juga terjadi pada masa Yesus di mana kepentingan sosial politik bangsa Romawi terselubung di balik penderitaan dan kematian Kristus itu. Penderitaan Kristus di kayu Salib merupakan kekejian bangsa-Nya sendiri yakni Bangsa Yahudi. Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah penderitaan Kristus yang berujung pada kematian tersebut merupakan salah satu strategi Bangsa Romawi demi kepentingan politik mereka. Bangsa Roma memperalat bangsa Yahudi untuk membinasakan Yesus sehingga sampai saat ini pun umat Kristen di seluruh dunia masih mengkambing-hitamkan bangsa Yahudi sebagai aktor di balik pembunuhan Yesus itu. Padahal bangsa Romawi-lah yang menjadi dalangnya. Di sini penguasa Roma menuduh Yesus menghasut orang untuk melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan penguasa Roma. Sementara itu, para pemimpin agama menganggap perbuatan-Nya sebagai penghujatan terhadap Allah dan menganggap bahwa Yesus sedang menggerakkan orang Yahudi untuk menentang hukum Yahudi. Namun demikian, banyak rakyat biasa yang mendukung Yesus sampai pada kematian-Nya. Dengan demikian, penderitaan dan kematian Kristus menjadi satu-satunya jalan bagi bangsa Roma khususnya penguasa Roma dalam menarik simpati rakyat agar tetap eksis dalam kedudukannya. Dengan demikian, penderitaan Kristus di kayu salib merupakan kekejian bangsa Romawi dan Bangsa Yahudi.

Penulis adalah Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi “Fajar Timur” (STFT-FT), Abepura-Jayapura, Papua!!!

Blog, Updated at: 01.05

0 komentar:

Posting Komentar

BERITA TERBARU

Komisi Somatua Intan Jaya. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts